Makalah Fiqih Muamalah
MAKALAH FIQH MU’AMALAH
“PEMBAHASAN TENTANG FIQH
MU’AMALAH”
DISUSUN OLEH::
KELOMPOK I
1.
SITI USMIATI (152.135.181)
2.
DINA APRIANA (152.135.219)
DOSEN PENGAMPU:
dr. H. M. ZAIDI ABDAD, M.Ag
EKONOMI SYARI’AH – KEUANGAN
FAKULTAS SYARI’AH DAN EKONOMI ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
(IAIN) MATARAM
2014/2015
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirabbil’alamin,,
Puji
syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT., yang telah memberikan rahmat,
taufik serta hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah kelompok
kami yang berjudul “FIQH MU’AMALAH”.
Tak
lupa pula kami haturkan shalawat serta salam atas junjungan Nabi besar Muhammad
SAW., yang telah membawa kita dari alam kegelapan menuju alam yang terang
benderang yakni Addinul Islam.
Kami
menyusun makalah kami dari berbagai sumber seperti buku, literatur, internet,
dll., yang kami tau semuanya itu jauh dari kata sempurna. Untuk itu kami
mengharapkan kritik, saran dan masukkan guna untuk membuat makalah kami lebih
sempurna lagi di tugas-tugas berikutnya.
Demikian
makalah ini kami buat, atas perhatiannya kami ucapkan terima kasih dan semoga
makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua yang membacanya. Amin yaa rabbal’alamin....
Mataram, 17 Maret 2014
Penyusun,
Kelompok
I
ii
DAFTAR ISI
1.
JUDUL ------------------------------------------------------------------------- i
2.
KATA PENGANTAR ---------------------------------------------------- ii
3.
DAFTAR ISI ----------------------------------------------------------------- iii
4.
BAB I – PENDAHULUAN----------------------------------------------- 1
1.
Latar
Belakang -------------------------------------------------- 1
2.
Rumusan
Masalah ----------------------------------------------- 1
3.
Tujuan
----------------------------------------------------------- 1
5.
BAB II – PEMBAHASAN ----------------------------------------------- 2
1.
Pengertian
fiqh muamalah --------------------------------------- 2
2.
Pembagian
dan Ruang Lingkup fiqh muamalah ----------------
3.
Perbedaan
muamalah dengan hukum perdata -------------------
4.
Prinsip-prinsip
fiqh muamalah -----------------------------------
6.
BAB III – PENUTUP ------------------------------------------------------
1.
Kesimpulan
------------------------------------------------------
2.
Saran
-------------------------------------------------------------
7.
DAFTAR PUSTAKA -----------------------------------------------------
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1.
LATAR BELAKANG
Islam adalah agama yang kompleks dan dinamis, segala hal
semuanya sudah diatur sedemikian rupa salah satu aturan dalam Islam tersebut
termasuk dalam ilmu fiqh muamalah. Di dalamnya mencakup seluruh sisi kehidupan
individu dan masyarakat, baik perekonomian, sosial kemasyarakatan, politik
bernegara dan lain sebagainya.
Hukum-hukum fiqih terdiri dari hukum-hukum yang menyangkut
urusan ibadah dalam kaitannya dengan hubungan vertikal antara manusia dengan
Allah dan hubungan manusia dengan manusia lainnya, pada dasarnya hukum muamalah
mubah atau boleh selama tidak keluar dari koridor Al Quran dan Al-Hadits.
Di dalam makalah ini, kami akan memaparkan secara lebih
lanjut tentang apa itu fiqh muamalah.
2.
RUMUSAN MASALAH
Rumusan masalah dalam pembahasan ini adalah :
1.
Apakah Definisi dari Fiqh Mu’amalah itu ?
2.
Apa saja Pembagian dan Ruang Lingkup dari Fiqh Mu’amalah ?
3.
Apa Perbedaan Mu’amalah dengan Hukum Perdata ?
4.
Bagaimana Prinsip – Prinsip dalam Mu’amalah ?
3.
TUJUAN
1.
Mengetahui Definisi dari Fiqh Mu’amalah itu
2.
Mengetahui Pembagian dan Ruang Lingkup dari Fiqh Mu’amalah
3.
Mengetahui Perbedaan Mu’amalah dengan Hukum Perdata
4.
Mengetahui Prinsip – Prinsip dalam Mu’amalah
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Definisi Fiqh Mu’amalah
Fiqh mu’amalah terdiri atas dua kata yaitu fiqih dan muamalah.
1.
Fiqih
Menurut etimologi (bahasa), fiqih adalah الفهم (paham) seperti
pernyataan فقهت الدرس (saya paham pelajaran
itu). Arti ini antara lain sesuai dengan arti fiqih dalam salah satu hadis yang
diriwayatkan oleh Imam Bukhari:
من يرد ا لله به خيرا يفقهه في الد ين
Barang siapa yang dikehendaki Allah menjadi
orang yang baik di sisi-Nya, niscaya akan diberikan kepada-Nya pemahaman (yang
mendalam) dalam pengetahuan agama.
Menurut terminologi, fiqih awalnya berarti pengetahuan
keagamaan yang mencakup seluruh ajaran agama, baik berupa akidah, akhlak,
maupun amaliah (ibadah), yakni sama dengan arti Syari’ah Islamiyah.
Menurut Ulama :
1.
Menurut Imam Haramain, fiqih merupakan
pengetahuan hukum syara’ dengan jalan ijtihad.
2.
Menurut Al-Amidi, fiqih adalah melalui
kajian penalaran (nadzar dan istidhah)
2.
Mu’amalah
Menurut etimologi, kata muamalah adalah bentuk masdar dari
kata’amala yang artinya saling bertindak, saling berbuat, dan saling
mengenal. Muamalah ialah
segala aturan agama yang mengatur hubungan antara sesama manusia, dan antara
manusia dan alam sekitarnya,tanpa memandang agama atau asal usul kehidupannya.
Menurut Basyir, mendefinisikan muamalah dengan “pergaulan
hidup tempat setiap orang melakukan perbuatan dalam hubungannya dengan orang
lain”. Anwar menjelaskan, “muamalah secara harfiah berarti pergaulan atau
hubungan satu orang dengan orang lain”. Pengertian umum, muamalah diartikan
sebagai aktivitas di luar ibadah. Muamalah”al-mufaa’ilah”
yaitu kerja/aktivitas yang berarti tata sistem hubungan aktivitas kehidupan
sehari-hari.
3.
Fiqh Mu’amalah
a.
Dalam arti luas
-
Menurut Ad-Dimyati[2];
Aktivitas untuk menghasilkan duniawi
menyebabkan keberhasilan masalah ukhrawi
-
Menurut Muhammad Yusuf Musa[3];
Peraturan-peraturan Allah yang diikuti
dan ditaati dalam hidup bermasyarakat untuk menjaga kepentingan manusia.
Dari dua pengertian di
atas, dapat diketahui bahwa fiqih muamalah adalah aturan-aturan (hukum) Allah
SWT., yang ditujukan untuk mengatur kehidupan manusia dalam urusan keduniaan
atau urusan yang berkaitan dengan urusan duniawi dan sosial kemasyarakatan.
Dengan kata lain, dalam Islam tidak ada pemisahan antara amal dunia dan amal
akhirat, sebab sekecil apapun aktivitas manusia di dunia harus didasarkan pada
ketetapan Allah SWT., agar kelak selamat di akhirat.
b.
Dalam arti sempit
-
Menurut Hudhari Beik[4];
Muamalah adalah semua akad yang
membolehkan manusia saling menukar manfaat.
-
Menurut Idris Ahmad; Muamalah adalah
aturan Allah yang mengatur hubungan manusia dengan manusia dalam usahanya untuk
mendapatkan alat-alat keperluan jasmanisnya dengan cara yang paling baik.
-
Menurut Rasyid Ridha; Muamalah
adalah tukar-menukar barang atau sesuatu yang bermanfaat dengan cara-cara yang
telah ditentukan.
Dari ketiga definisi di
atas, fiqih muamalah dalam arti sempit menekankan keharusan untuk menaati
aturan-aturan Allah yang telah ditetapkan untuk mengatur hubungan antara
manusia dengan cara memperoleh, mengatur, mengelola dan mengembangkan mal (harta benda)
Fiqh Mu’amalah
merupakan bagian dari hukum Islam yang mengatur hubungan antar individu dalam
bermasyarakat yang merupakan hukum ilahiyah yang ditinjau dari segi sumbernya,
tetapi hukum manusiawi kalau ditinjau dari kenyataan bahwa ia hasil ijtihad atau pemikiran manusia[5].
Fiqh Muamalah secara terminologi didefinisikan sebagai
hukum-hukum yang berkaitan dengan tindakan hukum manusia dalam
persoalan-persoalan keduniaan. Misalnya, dalam persoalan jual-beli, utang
piutang, kerja sama dagang, kerja sama dalam penggarapan tanah, dan
sewa-menyewa. Sebagai istilah khusus dalam Hukum Islam, fiqh Muamalah adalah
fiqih yang mengatur hubungan antar individu dalam sebuah masyarakat.
Fiqh Muamalah adalah
ilmu yang mempelajari tentang aktivitas-aktivitas yang dipandang dari sudut
pandang syari’ah yang dikuatkan dengan dalil-dalil, misalnya studi
persoalan-persoalan fiqih mengenai ke-pemilikan harta (individu, orang lain
maupun kelompok).
2.
Pembagian dan Ruang Lingkup Fiqh Mu’amalah
a.
Pembagian Fiqh Muamalah
Penetapan pembagian fiqih muamalah yang dikemukakan ulama
fiqih sangat berkaitan dengan definisi fiqih mu’amalah yang dibuat, yaitu dalam
arti luas atau dalam arti sempit. Ibn Abidin, salah seorang yang mendefinisikan
fiqih muamalah dalam arti luas, membaginya menjadi 5 bagian:
1.
Muawadhah Maliyah (Hukum
Kebendaan)
2.
Munakahat (Hukum
Perkawinan)
3.
Muhasanat (Hukum
Acara)
4.
Amanat dan ‘Aryah (Amanah
dan Pinjaman)
5.
Tirkah (Harta
Peninggalan)
Pada pembagian di atas,
ada dua bagian yang merupakan disiplin ilmu tersendiri yaitu munakahat dan tirkah. Ibn Abidin menetapkan pembagian di atas dari sudut fiqih
muamalah dalam pengertian luas.
Sedangkan Al-Fikr,
dalam kitab Al-Muamalah al-Madiyah wa
Al-Adabiyah, membagi fiqh muamalah menjadi dua bagian[6]:
1.
Al-Muamalah
al-Madiyah adalah muamalah yang mengkaji
segi objeknya, yaitu benda (benda yang halal, haram, syubhat untuk dimiliki,
diperjual-belikan atau diusahakan, benda yang menimbulkan kemadaratan dan
mendatangkan kemaslahatan bagi manusia, dll.)
Dengan kata lain, Al-Muamalah
al-Madiyah adalah aturan-aturan yang telah ditetapkan syara’ dari segi
objek benda. Oleh karena itu, berbagai aktivitas muslim yang berkaitan dengan
benda seperti al-bai’ (jual-beli)
tidak hanya ditujukan untuk memperoleh keuntungan semata, tetapi lebih jauh
dari itu yakni, untuk memperoleh ridha Allah. Konsekuensinya harus menuruti
tata cara jual-beli yang telah ditetapkan syara’.
2.
Al-Muamalah
Al-Adabiyah adalah muamalah yang
ditinjau dari segi cara tukar-menukar benda yang sumbernya dari panca indera
manusia, sedangkan unsur-unsur penegaknya adalah hak dan kewajiban, seperti
jujur, hasud, iri, dendam, dll.
Al-Muamalah
Al-Adabiyah adalah aturan-aturan
Allah yang berkaitan dengan aktivitas manusia dalam hidup bermasyarakat yang
ditinjau dengan aktivitas manusia dalam hidup bermasyarakat yang ditinjau dari
segi subjeknya, yaitu manusia sebagai pelakunya. Dengan demikian, adabiyah berkisar dalam keridhaan dari
kedua belah pihak yang melangsungkan akad, ijab qabul, dusta, dll.
Pada prakteknya, Al-Muamalah
Al-Madiyah dan Al-Muamalah Al-Adabiyah tidak dapat dipisahkan.
b.
Ruang Lingkup Fiqh Mu’amalah
Berdasarkan pembagian di atas, ruang lingkup fiqh muamalah di
bagi menjadi dua:
1.
Ruang
Lingkup Muamalah Adabiyah, adalah Ijab dan Kabul,
saling meridhai, tidak ada keterpaksaan dari salah satu pihak, hak dan
kewajiban, kejujuran pedagang penipuan, pemalsuan, penimbunan, dan segala
sesuatu yang bersumber dari indera manusia yang ada kaitannya dengan peredaran
harta.
2.
Ruang
Lingkup Muamalah Madiyah, adalah:
a.
Jual-beli (al-bai’ at-tijarah)
b.
gadai (rahn)
c.
Jaminan dan tanggungan (kafalah dan
dhaman)
d.
Pemindahan utang (hiwalah)
e.
Jatuh bangkit (tafjis)
f.
Batas Bertindak (al-hajru)
g.
Perseroan atau perkongsian (asy-syirkah)
h.
Perseroan harta dan tenaga (al-mudharabah)
i.
sewa-menyewa tanah (al-musaqah
al-mukhabarah)
j.
upah (ujral al-amah)
k.
gugatan (as-syuf’ah)
l.
sayembara (al-ji’alah)
m. pembagian kekayaan bersama (al-qismah)
n.
pemberian (al-hibbah)
o.
pembebasan dan damai (al-ibra’ wa
ash-shulhu)
p.
beberapa masalah mu’ashirah (muhaditsah), seperti masalah bunga bank,
asuransi, kredit dan masalah lainnya.
Ruang lingkup fiqh muamalah dirumuskan oleh para ahli
berdasarkan makna harfiah dan terminologis kata muamalah. Basyir menjelaskan fiqh
muamalah membicarakan: 1) Pengertian benda dan macam-macamnya; 2) hubungan
manusia dengan benda dan macam-macamnya; 3) hubungan manusia dengan benda yang
menyangkut hak milik, dan 4) pencabutan hak milik perikatan-perikatan tertentu,
seperti jual-beli, utang-piutang, sewa-menyewa, dsb.
3.
Perbedaan Mu’amalah dengan Hukum Perdata
Fiqh muamalah dan hukum perdata, tentu berbeda. Dilihat dari
sistematikanya, dalam fiqh muamalah tidak mengatur hukum secara pribadi, tetapi
hukum itu ada di dalam ushul fiqh sedangkan hukum perdata mengatur hukum yang
mengatur orang pribadi, dan dalam hukum perdata pun para ulama membahas ushul
fiqh seperti tentang subjek hukum atau orang mukallaf.
Hukum perdata memiliki ruang lingkup yang sempit yang
menyangkut tentang kebendaan di dalam hukum Islam, tetapi juga harus
memperhatikan ketentuan yang ada dan harus berdasarkan syari’at Islam.
Hukum perdata adalah hukum yang mengatur hubung-hubungan
hukum antara para warga hukum (manusia-manusia pribadi dan badan hukum).
Terdiri atas hukum perdata, dagang, bukti, dan kadalwarsa (lewat waktu).
4.
Prinsip – Prinsip dalam Mu’amalah
Sebagai sistem kehidupan, Islam memberikan warna dalam setiap
dimensi kehidupan manusia, tak terkecuali dunia ekonomi. Sistem Islam ini
berusaha mendialektikkan nilai-nilai ekonomi dengan nilai akidah ataupun etika.
Artinya, kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh manusia dibangun dengan
dialektika nilai materialisme dan spiritualisme. Kegiatan ekonomi yang
dilakukan tidak hanya berbasis nilai materi, akan tetapi terdapat sandaran
transendental di dalamnya, sehingga akan bernilai ibadah. Selain itu, konsep
dasar Islam dalam kegiatan muamalah (ekonomi) juga sangat konsen terhadap
nilai-nilai humanisme. Di antara kaidah dasar (asas) fiqh muamalah adalah
sebagai berikut :
a.
Prinsip Dasar
1.
Hukum asal dalam muamalat adalah mubah
2.
Konsentrasi Fiqih Muamalah untuk mewujudkan
kemaslahatan
3.
Menetapkan harga yang kompetitif
4.
Meninggalkan intervensi yang dilarang
5.
Menghindari eksploitasi
6.
Memberikan toleransi
7.
Tabligh, siddhiq, fathonah dan amanah sesuai
sifat Rasulullah
8.
Bermanfaat, adil dan muawanah
b.
Prinsip Umum
1.
Prinsip Tauhid, merupakan prinsip
umum hukum Islam yang menyatakan bahwa semua manusia ada di bawa suatu
ketetapan yang sama, yaitu ketetapan tauhid yang dinyatakan dalam kalimat laa ilaha illallah[7].
Prinsip ini di tarik dari firman Allah SWT., dalam QS. Ali Imran (3):64.
Katakanlah: "Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada
suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu,
bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan
sesuatu pun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain
sebagai tuhan selain Allah. Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada
mereka: "Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri
(kepada Allah)".
Berdasarkan prinsip ini, maka pelaksanaan hukum Islam
merupakan ibadah. Ibadah dalam arti penghambaan manusia dan penyerahan dirinya
kepada Allah sebagai manifestasi pengakuan atas ke-Mahaesaan-Nya dan manifestasi kesyukuran kepada-Nya. Dengan
demikian, tidak boleh terjadi saling mentuhankan sesama manusia dan/atau sesama
makhluk lainnya.
2.
Prinsip Keadilan, merupakan prinsip
kedua setelah tauhid meliputi keadilan dalam hubungan antara individu dengan
dirinya sendiri, individu dengan manusia dan masyarakatnya, antara individu
dengan hakim dan yang berperkara serta hubungan-hubungan dari berbagai pihak
yang terkait.
3.
Prinsip Amar ma’ruf
nahi mungkar, merupakan kelanjutan dari prinsip tauhid dan keadilan. Amar
ma’ruf artinya, hukum Islam digerakkan untuk dan merekayasa umat manusia menuju
tujuan yang baik dan benar yang diridhai dan dikehendaki Alla. Dalam filsafat
Barat berfungsi sebagai social
engineering hukum. Sedangkan nahi mungkar berfungsi sebagai social control-nya.
Atas dasar prinsip
inilah dalam hukum Islam dikenal adanya perintah dan larangan, wajib dan haram,
pilihan antara melakukan dan tidak melakukan perbuatan yang dikenal dengan
istilah al-ahkam al-khams (hukum
lima), yaitu wajib, haram, sunat, makruh, dan mubah[8].
4.
Prinsip
Kemerdekaan/Kebebasan
Kebebasan dalam arti luas yang mencakup berbagai
macamnya, baik kebebasan individual, maupun komunal, kebebasan beragama,
kebebasan berserikat dan kebebasan berpolitik.
-
Kebebasan individual: kebebasan dalam
melakukan suatu perbuatan atau tidak melakukan suatu perbuatan
-
Kebebasan beragama:
Dalam Islam dijamin berdasarkan prinsip “tidak ada paksaan di dalam beragama (la ikraha fi al-din)” dalam QS.
al-Kafirun (109) : 6
“Untukmulah agamamu
dan untukkulah agamaku".
Prinsip kebebasan
ini menghendaki agar agama dan hukum Islam ini tidak disiarkan berdasarkan
paksaan, tetapi berdasarkan penjelasan, demonstrasi, argumentasi, dan
pernyataan yang meyakinkan (Al-Burban wa
al-iqna’)
5.
Prinsip Persamaan, merupakan bagain
terpenting dalam pembinaan dan pengembangan hukum Islam dalam menggerakkan dan
mengontrol sosial, tetapi tidaklah berarti hukum Islam menghendaki masyarakat
tanpa kelas ala komunisme. Hukum Islam selanjutnya mengenal prinsip ta’awun (kerjasama antar kelas)[9]. Sepeti dalam
QS. Hujurat (49): 13
Hai manusia,
sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan
dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal
mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah
ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Mengenal[10].
6.
Prinsip Tolong-menolong
(ta’awun), berarti bantu-membantu antara sesama anggota masyarakat.
Bantu-membantu ini diarahkan sesuai dengna prinsip tauhid, terutama dalam upaya
meningkatkan kebaikan dan ketakwaan kepada Allah. Prinsip ta’awun menghendaki kaum muslim saling menolong dalam kebaikan dan
ketakwaan sebagimana dijelaskan QS. Al-Maidah (5): 2 dan QS. Al-Mujadalah (48):
9[11].
7.
Prinsip Toleransi
Dengan prinsip toleransi, hukum Islam mengharuskan umatnya
hidup rukun dan damai di muka bumi ini tanpa memandang ras dan warna kulit.
Toleransi yang dikehendaki Islam ialah toleransi yang menjamin tidak
melanggarnya hak-hak Islam dan umatnya. Toleransi hanya dapat diterima apabila
tidak merugikan agama Islam[12]. Peringatan
Allah berkenaan dengan toleransi ini dinyatakan dalam QS. Al-Mumtahanah (60): 8
dan 9
“Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku
adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula)
mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang
berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu
orang-orang yang memerangi kamu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu
dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan barang siapa menjadikan mereka
sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang dzalim”[13].
8.
Prinsip Kemitraan (al-muawwanah)
9.
Adanya kepastian hukum
Kepastian hukum merupakan pertanyaan
yang hanya bisa dijawab secara normatif, bukan sosiologis. Kepastian hukum
secara normatif adalah ketika suatu peraturan dibuat, diterapkan dan dijadikan
sebagai pedoman secara pasti dan mengatur secara jelas dan logis masalah yang
akan diatur. Jelas dalam artian tidak menimbulkan keragu-raguan (multi-tafsir)
dan logis dalam artian ia menjadi suatu sistem norma yang sejalan dengan norma
lain sehingga tidak berbenturan atau menimbulkan konflik norma.
10.
Musyawarah dalam
memecahkan masalah.
11.
Jalan tengah
(ausath, wasathaan) dalam segala hal.
BAB III
PENUTUP
1.
Kesimpulan
a.
Fiqh muamalah adalah ilmu yang mempelajari tentang aktivitas-aktivitas
yang dipandang dari sudut pandang syari’ah yang dikuatkan dengan dalil-dalil,
misalnya studi persoalan-persoalan fiqih mengenai ke-pemilikan harta (individu,
orang lain maupun kelompok).
b.
Pembagian fiqh muamalah:
1) Muawadhah Maliyah (Hukum
Kebendaan); 2) Munakahat (Hukum
Perkawinan); 3) Muhasanat (Hukum
Acara); 4) Amanat dan ‘Aryah (Amanah
dan Pinjaman), dan 5) Tirkah (Harta
Peninggalan)
Ruang Lingkup fiqh muamalah:
1) Al-Muamalah Al-Madiyah
2) Al-Muamalah
Al-Adabiyah
c.
Perbedaan muamalah dan hukum perdata
d.
Prinsip-prinsip dalam muamalah
-
Prinsip Dasar è 1) Hukum asal dalam
muamalat adalah mubah, 2) Konsentrasi Fiqih
Muamalah untuk mewujudkan kemaslahatan, 3) Menetapkan harga
yang kompetitif, 4) Meninggalkan
intervensi yang dilarang, 5) Menghindari
eksploitasi, 6) Memberikan toleransi, 7) Tabligh, siddhiq, fathonah dan amanah sesuai sifat Rasulullah, 8) Bermanfaat, adil dan muawanah
-
Prinsip Umum è 1) Prinsip tauhid, 2) Prinsip Keadilan, 3) Prinsip amal
ma’ruf nahi munkar, 4) Prinsip Kebebasan, 5) Prinsip Persamaan, 6) Prinsip
Tolong-menolong, 7) Prinsip Toleransi, 8) Prinsip Kemitraan, 9) Adanya
kepastian hukum, 10) Musyawarah dalam memecahkan masalah, 11) Jalan tengah
(ausath, wasathaan) dalam segala hal.
2.
Saran
DAFTAR PUSTAKA
1.
Prof. Dr. H. Rachmat Syafe’i, M.A. 2000. FIQIH MUAMALAH. Bandung: Pustaka Setia.
2.
Suhendi, Hendi. 2001. FIQIH MUAMALAH.
Jakarta: Rajawali Pers.
3.
Muslihun, Muslim. M.Ag. 2005. FIQIH
EKONOMI. Mataram: LKIM IAIN Mataram.
4.
Pertemuan pertama pembahasan kontrak belajar bersama dosen pengampu Dr. H.
M. Zaidi Abdad, M.Ag. Mataram, 10 Maret 2015.
[1] Rachmad Syafei, Fiqih
Muamalah, (Bandung: Pustaka Setia, 2000), 14
[2] Lihat ad-Dimyati, lanah
Ath-Thalibin, Toha Putra, Semarang, t.t., hlm. 2.
[3] Lihat Abdul Majid, Pokok-pokok Fiqh
Muamalah dan Hukum Kebendaan dalam Islam, Bandung: IAIN SGD, 1986, hlm. 1.
[4] Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah, Bandung: Gunung Djati Press, 1997, hlm. 2.
[5] Munawwir, Kamus...., 1044-5.
[6] Nana Masduki, Fiqh Muamalah (diktat),
Bandung: IAIN Sunan Gunung Djati, 1987, hlm. 4.
[7] S. Praja, Filsafat....., 69.
[8] Ibid, 75.
[9] Praja, Filsafat..., 77.
[10] Depag RI, Al-Quran..., 847.
[11] Ibid.
[12] Ibid, 77:8
[13] Depag, RI. Al-Quran... 924.
Comments