Makalah Fiqih Muamalah




MAKALAH FIQH MU’AMALAH

“PEMBAHASAN TENTANG FIQH MU’AMALAH”


 




                         
DISUSUN OLEH::
KELOMPOK I
1.      SITI USMIATI             (152.135.181)
2.    DINA APRIANA        (152.135.219)

DOSEN PENGAMPU:
dr. H. M. ZAIDI ABDAD, M.Ag
EKONOMI SYARI’AH – KEUANGAN
FAKULTAS SYARI’AH DAN EKONOMI ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) MATARAM
2014/2015

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbil’alamin,,
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT., yang telah memberikan rahmat, taufik serta hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah kelompok kami yang berjudul FIQH MU’AMALAH”.
Tak lupa pula kami haturkan shalawat serta salam atas junjungan Nabi besar Muhammad SAW., yang telah membawa kita dari alam kegelapan menuju alam yang terang benderang yakni Addinul Islam.
Kami menyusun makalah kami dari berbagai sumber seperti buku, literatur, internet, dll., yang kami tau semuanya itu jauh dari kata sempurna. Untuk itu kami mengharapkan kritik, saran dan masukkan guna untuk membuat makalah kami lebih sempurna lagi di tugas-tugas berikutnya.
Demikian makalah ini kami buat, atas perhatiannya kami ucapkan terima kasih dan semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua yang membacanya. Amin yaa rabbal’alamin....

                                                                            Mataram, 17 Maret 2014
                                                                            Penyusun,



                                                                            Kelompok I







ii
DAFTAR ISI

1.        JUDUL -------------------------------------------------------------------------         i
2.        KATA PENGANTAR ----------------------------------------------------        ii
3.        DAFTAR ISI -----------------------------------------------------------------       iii
4.        BAB I – PENDAHULUAN-----------------------------------------------        1
1.    Latar Belakang --------------------------------------------------        1
2.    Rumusan Masalah -----------------------------------------------        1
3.    Tujuan -----------------------------------------------------------        1
5.        BAB II – PEMBAHASAN -----------------------------------------------        2
1.    Pengertian fiqh muamalah ---------------------------------------        2
2.    Pembagian dan Ruang Lingkup fiqh muamalah ----------------         
3.    Perbedaan muamalah dengan hukum perdata -------------------         
4.    Prinsip-prinsip fiqh muamalah -----------------------------------         
6.        BAB III – PENUTUP ------------------------------------------------------         
1.    Kesimpulan ------------------------------------------------------         
2.    Saran -------------------------------------------------------------         
7.        DAFTAR PUSTAKA -----------------------------------------------------         












iii
 



BAB I
PENDAHULUAN

1.        LATAR BELAKANG
Islam adalah agama yang kompleks dan dinamis, segala hal semuanya sudah diatur sedemikian rupa salah satu aturan dalam Islam tersebut termasuk dalam ilmu fiqh muamalah. Di dalamnya mencakup seluruh sisi kehidupan individu dan masyarakat, baik perekonomian, sosial kemasyarakatan, politik bernegara dan lain sebagainya.
Hukum-hukum fiqih terdiri dari hukum-hukum yang menyangkut urusan ibadah dalam kaitannya dengan hubungan vertikal antara manusia dengan Allah dan hubungan manusia dengan manusia lainnya, pada dasarnya hukum muamalah mubah atau boleh selama tidak keluar dari koridor Al Quran dan Al-Hadits.
Di dalam makalah ini, kami akan memaparkan secara lebih lanjut tentang apa itu fiqh muamalah.
2.        RUMUSAN MASALAH
Rumusan masalah dalam pembahasan ini adalah :
1.    Apakah Definisi dari Fiqh Mu’amalah itu ?
2.    Apa saja Pembagian dan Ruang Lingkup dari Fiqh Mu’amalah ?
3.    Apa Perbedaan Mu’amalah dengan Hukum Perdata ?
4.    Bagaimana Prinsip – Prinsip dalam Mu’amalah ?
3.        TUJUAN
1.    Mengetahui Definisi dari Fiqh Mu’amalah itu
2.    Mengetahui Pembagian dan Ruang Lingkup dari Fiqh Mu’amalah
3.    Mengetahui Perbedaan Mu’amalah dengan Hukum Perdata
4.    Mengetahui Prinsip – Prinsip dalam Mu’amalah






BAB II
PEMBAHASAN

1.        Definisi Fiqh Mu’amalah
Fiqh mu’amalah terdiri atas dua kata yaitu fiqih dan muamalah.
1.    Fiqih
Menurut etimologi (bahasa), fiqih adalah الفهم (paham) seperti pernyataan فقهت الدرس (saya paham pelajaran itu). Arti ini antara lain sesuai dengan arti fiqih dalam salah satu hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari:
من يرد ا لله به خيرا يفقهه في الد ين
Barang siapa yang dikehendaki Allah menjadi orang yang baik di sisi-Nya, niscaya akan diberikan kepada-Nya pemahaman (yang mendalam) dalam pengetahuan agama.
Menurut terminologi, fiqih awalnya berarti pengetahuan keagamaan yang mencakup seluruh ajaran agama, baik berupa akidah, akhlak, maupun amaliah (ibadah), yakni sama dengan arti Syari’ah Islamiyah.
Menurut Ulama :
1.    Menurut Imam Haramain, fiqih merupakan pengetahuan hukum syara’ dengan jalan ijtihad.
2.    Menurut Al-Amidi, fiqih adalah melalui kajian penalaran (nadzar dan istidhah)
2.    Mu’amalah
Menurut etimologi, kata muamalah adalah bentuk masdar dari kata’amala yang artinya saling bertindak, saling berbuat, dan saling mengenal. Muamalah ialah segala aturan agama yang mengatur hubungan antara sesama manusia, dan antara manusia dan alam sekitarnya,tanpa memandang agama atau asal usul kehidupannya.
Menurut Basyir, mendefinisikan muamalah dengan “pergaulan hidup tempat setiap orang melakukan perbuatan dalam hubungannya dengan orang lain”. Anwar menjelaskan, “muamalah secara harfiah berarti pergaulan atau hubungan satu orang dengan orang lain”. Pengertian umum, muamalah diartikan sebagai aktivitas di luar ibadah. Muamalah”al-mufaa’ilah” yaitu kerja/aktivitas yang berarti tata sistem hubungan aktivitas kehidupan sehari-hari.
3.    Fiqh Mu’amalah
a.    Dalam arti luas
-       Menurut Ad-Dimyati[2]; Aktivitas untuk menghasilkan duniawi menyebabkan keberhasilan masalah ukhrawi
-       Menurut Muhammad Yusuf Musa[3]; Peraturan-peraturan Allah yang diikuti dan ditaati dalam hidup bermasyarakat untuk menjaga kepentingan manusia.
Dari dua pengertian di atas, dapat diketahui bahwa fiqih muamalah adalah aturan-aturan (hukum) Allah SWT., yang ditujukan untuk mengatur kehidupan manusia dalam urusan keduniaan atau urusan yang berkaitan dengan urusan duniawi dan sosial kemasyarakatan. Dengan kata lain, dalam Islam tidak ada pemisahan antara amal dunia dan amal akhirat, sebab sekecil apapun aktivitas manusia di dunia harus didasarkan pada ketetapan Allah SWT., agar kelak selamat di akhirat.
b.   Dalam arti sempit
-       Menurut Hudhari Beik[4]; Muamalah adalah semua akad yang membolehkan manusia saling menukar manfaat.
-       Menurut Idris Ahmad; Muamalah adalah aturan Allah yang mengatur hubungan manusia dengan manusia dalam usahanya untuk mendapatkan alat-alat keperluan jasmanisnya dengan cara yang paling baik.
-       Menurut Rasyid Ridha; Muamalah adalah tukar-menukar barang atau sesuatu yang bermanfaat dengan cara-cara yang telah ditentukan.
Dari ketiga definisi di atas, fiqih muamalah dalam arti sempit menekankan keharusan untuk menaati aturan-aturan Allah yang telah ditetapkan untuk mengatur hubungan antara manusia dengan cara memperoleh, mengatur, mengelola dan mengembangkan mal (harta benda)
Fiqh Mu’amalah merupakan bagian dari hukum Islam yang mengatur hubungan antar individu dalam bermasyarakat yang merupakan hukum ilahiyah yang ditinjau dari segi sumbernya, tetapi hukum manusiawi kalau ditinjau dari kenyataan bahwa ia hasil ijtihad atau pemikiran manusia[5].
Fiqh Muamalah secara terminologi didefinisikan sebagai hukum-hukum yang berkaitan dengan tindakan hukum manusia dalam persoalan-persoalan keduniaan. Misalnya, dalam persoalan jual-beli, utang piutang, kerja sama dagang, kerja sama dalam penggarapan tanah, dan sewa-menyewa. Sebagai istilah khusus dalam Hukum Islam, fiqh Muamalah adalah fiqih yang mengatur hubungan antar individu dalam sebuah masyarakat.
Fiqh Muamalah adalah ilmu yang mempelajari tentang aktivitas-aktivitas yang dipandang dari sudut pandang syari’ah yang dikuatkan dengan dalil-dalil, misalnya studi persoalan-persoalan fiqih mengenai ke-pemilikan harta (individu, orang lain maupun kelompok).
2.        Pembagian dan Ruang Lingkup Fiqh Mu’amalah
a.    Pembagian Fiqh Muamalah
Penetapan pembagian fiqih muamalah yang dikemukakan ulama fiqih sangat berkaitan dengan definisi fiqih mu’amalah yang dibuat, yaitu dalam arti luas atau dalam arti sempit. Ibn Abidin, salah seorang yang mendefinisikan fiqih muamalah dalam arti luas, membaginya menjadi 5 bagian:
1.    Muawadhah Maliyah (Hukum Kebendaan)
2.    Munakahat (Hukum Perkawinan)
3.    Muhasanat (Hukum Acara)
4.    Amanat dan ‘Aryah (Amanah dan Pinjaman)
5.    Tirkah (Harta Peninggalan)
Pada pembagian di atas, ada dua bagian yang merupakan disiplin ilmu tersendiri yaitu munakahat dan tirkah. Ibn Abidin menetapkan pembagian di atas dari sudut fiqih muamalah dalam pengertian luas.
Sedangkan Al-Fikr, dalam kitab Al-Muamalah al-Madiyah wa Al-Adabiyah, membagi fiqh muamalah menjadi dua bagian[6]:
1.    Al-Muamalah al-Madiyah adalah muamalah yang mengkaji segi objeknya, yaitu benda (benda yang halal, haram, syubhat untuk dimiliki, diperjual-belikan atau diusahakan, benda yang menimbulkan kemadaratan dan mendatangkan kemaslahatan bagi manusia, dll.)
Dengan kata lain, Al-Muamalah al-Madiyah adalah aturan-aturan yang telah ditetapkan syara’ dari segi objek benda. Oleh karena itu, berbagai aktivitas muslim yang berkaitan dengan benda seperti al-bai’ (jual-beli) tidak hanya ditujukan untuk memperoleh keuntungan semata, tetapi lebih jauh dari itu yakni, untuk memperoleh ridha Allah. Konsekuensinya harus menuruti tata cara jual-beli yang telah ditetapkan syara’.
2.    Al-Muamalah Al-Adabiyah adalah muamalah yang ditinjau dari segi cara tukar-menukar benda yang sumbernya dari panca indera manusia, sedangkan unsur-unsur penegaknya adalah hak dan kewajiban, seperti jujur, hasud, iri, dendam, dll.
Al-Muamalah Al-Adabiyah adalah aturan-aturan Allah yang berkaitan dengan aktivitas manusia dalam hidup bermasyarakat yang ditinjau dengan aktivitas manusia dalam hidup bermasyarakat yang ditinjau dari segi subjeknya, yaitu manusia sebagai pelakunya. Dengan demikian, adabiyah berkisar dalam keridhaan dari kedua belah pihak yang melangsungkan akad, ijab qabul, dusta, dll.
Pada prakteknya, Al-Muamalah Al-Madiyah  dan Al-Muamalah Al-Adabiyah tidak dapat dipisahkan.
b.   Ruang Lingkup Fiqh Mu’amalah
Berdasarkan pembagian di atas, ruang lingkup fiqh muamalah di bagi menjadi dua:
1.    Ruang Lingkup Muamalah Adabiyah, adalah Ijab dan Kabul, saling meridhai, tidak ada keterpaksaan dari salah satu pihak, hak dan kewajiban, kejujuran pedagang penipuan, pemalsuan, penimbunan, dan segala sesuatu yang bersumber dari indera manusia yang ada kaitannya dengan peredaran harta.
2.    Ruang Lingkup Muamalah Madiyah, adalah:
a.    Jual-beli (al-bai’ at-tijarah)
b.    gadai (rahn)
c.    Jaminan dan tanggungan (kafalah dan dhaman)
d.   Pemindahan utang (hiwalah)
e.    Jatuh bangkit (tafjis)
f.     Batas Bertindak (al-hajru)
g.    Perseroan atau perkongsian (asy-syirkah)
h.    Perseroan harta dan tenaga (al-mudharabah)
i.      sewa-menyewa tanah (al-musaqah al-mukhabarah)
j.      upah (ujral al-amah)
k.    gugatan (as-syuf’ah)
l.      sayembara (al-ji’alah)
m.  pembagian kekayaan bersama (al-qismah)
n.    pemberian (al-hibbah)
o.    pembebasan dan damai (al-ibra’ wa ash-shulhu)
p.    beberapa masalah mu’ashirah (muhaditsah), seperti masalah bunga bank, asuransi, kredit dan masalah lainnya.
Ruang lingkup fiqh muamalah dirumuskan oleh para ahli berdasarkan makna harfiah dan terminologis kata muamalah. Basyir menjelaskan fiqh muamalah membicarakan: 1) Pengertian benda dan macam-macamnya; 2) hubungan manusia dengan benda dan macam-macamnya; 3) hubungan manusia dengan benda yang menyangkut hak milik, dan 4) pencabutan hak milik perikatan-perikatan tertentu, seperti jual-beli, utang-piutang, sewa-menyewa, dsb.
3.        Perbedaan Mu’amalah dengan Hukum Perdata
Fiqh muamalah dan hukum perdata, tentu berbeda. Dilihat dari sistematikanya, dalam fiqh muamalah tidak mengatur hukum secara pribadi, tetapi hukum itu ada di dalam ushul fiqh sedangkan hukum perdata mengatur hukum yang mengatur orang pribadi, dan dalam hukum perdata pun para ulama membahas ushul fiqh seperti tentang subjek hukum atau orang mukallaf.
Hukum perdata memiliki ruang lingkup yang sempit yang menyangkut tentang kebendaan di dalam hukum Islam, tetapi juga harus memperhatikan ketentuan yang ada dan harus berdasarkan syari’at Islam.
Hukum perdata adalah hukum yang mengatur hubung-hubungan hukum antara para warga hukum (manusia-manusia pribadi dan badan hukum). Terdiri atas hukum perdata, dagang, bukti, dan kadalwarsa (lewat waktu).

4.        Prinsip – Prinsip dalam Mu’amalah
Sebagai sistem kehidupan, Islam memberikan warna dalam setiap dimensi kehidupan manusia, tak terkecuali dunia ekonomi. Sistem Islam ini berusaha mendialektikkan nilai-nilai ekonomi dengan nilai akidah ataupun etika. Artinya, kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh manusia dibangun dengan dialektika nilai materialisme dan spiritualisme. Kegiatan ekonomi yang dilakukan tidak hanya berbasis nilai materi, akan tetapi terdapat sandaran transendental di dalamnya, sehingga akan bernilai ibadah. Selain itu, konsep dasar Islam dalam kegiatan muamalah (ekonomi) juga sangat konsen terhadap nilai-nilai humanisme. Di antara kaidah dasar (asas)  fiqh muamalah adalah sebagai berikut :
a.    Prinsip Dasar
1.    Hukum asal dalam muamalat adalah mubah
2.    Konsentrasi Fiqih Muamalah untuk mewujudkan kemaslahatan
3.    Menetapkan harga yang kompetitif
4.    Meninggalkan intervensi yang dilarang
5.    Menghindari eksploitasi
6.    Memberikan toleransi
7.    Tabligh, siddhiq, fathonah dan amanah sesuai sifat Rasulullah
8.    Bermanfaat, adil dan muawanah
b.   Prinsip Umum
1.         Prinsip Tauhid, merupakan prinsip umum hukum Islam yang menyatakan bahwa semua manusia ada di bawa suatu ketetapan yang sama, yaitu ketetapan tauhid yang dinyatakan dalam kalimat laa ilaha illallah[7]. Prinsip ini di tarik dari firman Allah SWT., dalam QS. Ali Imran (3):64.






Katakanlah: "Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatu pun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain Allah. Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka: "Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)".
Berdasarkan prinsip ini, maka pelaksanaan hukum Islam merupakan ibadah. Ibadah dalam arti penghambaan manusia dan penyerahan dirinya kepada Allah sebagai manifestasi pengakuan atas ke-Mahaesaan-Nya  dan manifestasi kesyukuran kepada-Nya. Dengan demikian, tidak boleh terjadi saling mentuhankan sesama manusia dan/atau sesama makhluk lainnya.
2.         Prinsip Keadilan, merupakan prinsip kedua setelah tauhid meliputi keadilan dalam hubungan antara individu dengan dirinya sendiri, individu dengan manusia dan masyarakatnya, antara individu dengan hakim dan yang berperkara serta hubungan-hubungan dari berbagai pihak yang terkait.
3.         Prinsip Amar ma’ruf nahi mungkar, merupakan kelanjutan dari prinsip tauhid dan keadilan. Amar ma’ruf artinya, hukum Islam digerakkan untuk dan merekayasa umat manusia menuju tujuan yang baik dan benar yang diridhai dan dikehendaki Alla. Dalam filsafat Barat berfungsi sebagai social engineering hukum. Sedangkan nahi mungkar berfungsi sebagai social control-nya.
Atas dasar prinsip inilah dalam hukum Islam dikenal adanya perintah dan larangan, wajib dan haram, pilihan antara melakukan dan tidak melakukan perbuatan yang dikenal dengan istilah al-ahkam al-khams (hukum lima), yaitu wajib, haram, sunat, makruh, dan mubah[8].
4.         Prinsip Kemerdekaan/Kebebasan
Kebebasan dalam arti luas yang mencakup berbagai macamnya, baik kebebasan individual, maupun komunal, kebebasan beragama, kebebasan berserikat dan kebebasan berpolitik.
-       Kebebasan individual: kebebasan dalam melakukan suatu perbuatan atau tidak melakukan suatu perbuatan
-       Kebebasan beragama: Dalam Islam dijamin berdasarkan prinsip “tidak ada paksaan di dalam beragama (la ikraha fi al-din)” dalam QS. al-Kafirun (109) : 6

“Untukmulah agamamu dan untukkulah agamaku".
Prinsip kebebasan ini menghendaki agar agama dan hukum Islam ini tidak disiarkan berdasarkan paksaan, tetapi berdasarkan penjelasan, demonstrasi, argumentasi, dan pernyataan yang meyakinkan (Al-Burban wa al-iqna’)
5.         Prinsip Persamaan, merupakan bagain terpenting dalam pembinaan dan pengembangan hukum Islam dalam menggerakkan dan mengontrol sosial, tetapi tidaklah berarti hukum Islam menghendaki masyarakat tanpa kelas ala komunisme. Hukum Islam selanjutnya mengenal prinsip ta’awun (kerjasama antar kelas)[9]. Sepeti dalam QS. Hujurat (49): 13






Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal[10].
6.         Prinsip Tolong-menolong (ta’awun), berarti bantu-membantu antara sesama anggota masyarakat. Bantu-membantu ini diarahkan sesuai dengna prinsip tauhid, terutama dalam upaya meningkatkan kebaikan dan ketakwaan kepada Allah. Prinsip ta’awun menghendaki kaum muslim saling menolong dalam kebaikan dan ketakwaan sebagimana dijelaskan QS. Al-Maidah (5): 2 dan QS. Al-Mujadalah (48): 9[11].
7.         Prinsip Toleransi
Dengan prinsip toleransi, hukum Islam mengharuskan umatnya hidup rukun dan damai di muka bumi ini tanpa memandang ras dan warna kulit. Toleransi yang dikehendaki Islam ialah toleransi yang menjamin tidak melanggarnya hak-hak Islam dan umatnya. Toleransi hanya dapat diterima apabila tidak merugikan agama Islam[12]. Peringatan Allah berkenaan dengan toleransi ini dinyatakan dalam QS. Al-Mumtahanah (60): 8 dan 9
“Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangi kamu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan barang siapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang dzalim”[13].
8.         Prinsip Kemitraan (al-muawwanah)
9.         Adanya kepastian hukum
Kepastian hukum merupakan pertanyaan yang hanya bisa dijawab secara normatif, bukan sosiologis. Kepastian hukum secara normatif adalah ketika suatu peraturan dibuat, diterapkan dan dijadikan sebagai pedoman secara pasti dan mengatur secara jelas dan logis masalah yang akan diatur. Jelas dalam artian tidak menimbulkan keragu-raguan (multi-tafsir) dan logis dalam artian ia menjadi suatu sistem norma yang sejalan dengan norma lain sehingga tidak berbenturan atau menimbulkan konflik norma.
10.     Musyawarah dalam memecahkan masalah.
11.     Jalan tengah (ausath, wasathaan) dalam segala hal.







BAB III
PENUTUP

1.        Kesimpulan
a.         Fiqh muamalah adalah ilmu yang mempelajari tentang aktivitas-aktivitas yang dipandang dari sudut pandang syari’ah yang dikuatkan dengan dalil-dalil, misalnya studi persoalan-persoalan fiqih mengenai ke-pemilikan harta (individu, orang lain maupun kelompok).
b.         Pembagian fiqh muamalah:
1) Muawadhah Maliyah (Hukum Kebendaan); 2) Munakahat (Hukum Perkawinan); 3) Muhasanat (Hukum Acara); 4) Amanat dan ‘Aryah (Amanah dan Pinjaman), dan 5) Tirkah (Harta Peninggalan)
Ruang Lingkup fiqh muamalah:
1) Al-Muamalah Al-Madiyah
2) Al-Muamalah Al-Adabiyah
c.         Perbedaan muamalah dan hukum perdata
d.        Prinsip-prinsip dalam muamalah
-       Prinsip Dasar è 1) Hukum asal dalam muamalat adalah mubah, 2) Konsentrasi Fiqih Muamalah untuk mewujudkan kemaslahatan, 3) Menetapkan harga yang kompetitif, 4) Meninggalkan intervensi yang dilarang, 5) Menghindari eksploitasi, 6) Memberikan toleransi, 7) Tabligh, siddhiq, fathonah dan amanah sesuai sifat Rasulullah, 8) Bermanfaat, adil dan muawanah
-       Prinsip Umum è 1) Prinsip tauhid, 2) Prinsip Keadilan, 3) Prinsip amal ma’ruf nahi munkar, 4) Prinsip Kebebasan, 5) Prinsip Persamaan, 6) Prinsip Tolong-menolong, 7) Prinsip Toleransi, 8) Prinsip Kemitraan, 9) Adanya kepastian hukum, 10) Musyawarah dalam memecahkan masalah, 11) Jalan tengah (ausath, wasathaan) dalam segala hal.
2.        Saran
































DAFTAR PUSTAKA

1.        Prof. Dr. H. Rachmat Syafe’i, M.A. 2000. FIQIH MUAMALAH. Bandung: Pustaka Setia.
2.        Suhendi, Hendi. 2001. FIQIH MUAMALAH. Jakarta: Rajawali Pers.
3.        Muslihun, Muslim. M.Ag. 2005. FIQIH EKONOMI. Mataram: LKIM IAIN Mataram.
4.        Pertemuan pertama pembahasan kontrak belajar bersama dosen pengampu Dr. H. M. Zaidi Abdad, M.Ag. Mataram, 10 Maret 2015.


[1] Rachmad Syafei, Fiqih Muamalah, (Bandung: Pustaka Setia, 2000), 14
[2] Lihat ad-Dimyati, lanah Ath-Thalibin, Toha Putra, Semarang, t.t., hlm. 2.
[3] Lihat Abdul Majid, Pokok-pokok Fiqh Muamalah dan Hukum Kebendaan dalam Islam, Bandung: IAIN SGD, 1986, hlm. 1.
[4] Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah, Bandung:  Gunung Djati Press, 1997, hlm. 2.
[5] Munawwir, Kamus...., 1044-5.
[6] Nana Masduki, Fiqh Muamalah (diktat), Bandung: IAIN Sunan Gunung Djati, 1987, hlm. 4.
[7] S. Praja, Filsafat....., 69.
[8] Ibid, 75.
[9] Praja, Filsafat..., 77.
[10] Depag RI, Al-Quran..., 847.
[11] Ibid.
[12] Ibid, 77:8
[13] Depag, RI. Al-Quran... 924.

Comments

Popular posts from this blog

jalan damai untuk Indonesia kita bersama

Produk Giro dalam Bank Syariah

prinsip produksi dalam Al Qur'an