Makalah Konsep Kebebasan Dalam Islam



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Kebebasan memiliki arti yang luas tidak hanya satu saja yang memberikan pengertian dari kebebasan itu, akan tetapi dari berbagai sudut dan pandangan memiliki pengertian tersendiri, seperti dalam ekonomi islam kebebasan dipahami dari dua perspektif, yaitu: pertama perspektif teologi  dan kedua perspektif ushul fiqh / falsafah tasyri’.Dimana di dalam perspektif teologi ini kebebasan memiliki arti bahwamanusia memiliki kebebasan dalam memilih.Adanya pemberikan reward and punisment merupakan suatu indikasi bahwa manusia itu bebas melakukan pilihan-pilihan. Semua keputusannya dalam melakukan pilihan-pilihan tersebut akan ditunjukkan kepadanya pada hari kiamat nanti untuk dipertanggung jawabakan di mahkamah (pengadilan) ilahi. Dan yang kedua menurut perspektifushul fiqh Kebebasan berarti bahwa dalam muamalah, Islam membuka pintu seluas-luasnya di mana manusia bebas melakukan apa saja sepanjang tidak ada nash yang melarangnya. Aksioma ini didasarkan pada kaedah populer, ”Pada dasarnya dalam muamalah segala sesuatu dibolehkan sepanjang tidak ada dalil yanaga melarangnya”. Jika kita terjemahkan arti kebebasan bertanggung jawab ini ke dalam dunia binsis, khususnya perusahaan, maka kita akan mendapatkan bahwa Islam benar-benar memacu umatnya untuk melakukan inovasi apa saja, termasuk pengembangan teknologi dan diversifikasi produk.

B.     Rumusan masalah
1.      Apa pengertian kebebasan dalam ekonomi islam?
2.      Ayat apa saja yang menjelaskan tentang kebebasan dalam ekonomi islam?




BAB II
PEMBAHASAN
1.   Pengertian kebebasan
Pengertian kebebasan dalam perekonomian Islam dipahami dari dua perspektif, pertama perspektif teologi  dan kedua perspektif ushul fiqh / falsafah tasyri’.
a.       Pengertian kebebasan dalam perspektif pertama berarti bahwa manusia bebas menentukan pilihan antara yang baik dan yang buruk dalam mengelola sumberdaya alam. Kebebasan untuk menentukan pilihan itu melekat pada diri manusia, karena manusia telah dianugerahi akal untuk memikirkan mana yang baik dan yang buruk, mana yang  maslahah dan mafsadah mana yang manfaat dan mudharat. Karena kekebasan itu, maka adalah logis (wajar) bila manusia  harus bertanggung jawab atas segala perilaku ekonominya di muka bumi ini atas pilihanya sendiri.
Manusia dengan potensi akalnya mengetahi  bahwa penebangan hutan secara liar akan menimbulkan dampak banjir dan longsor. Manusia juga tahu bahwa membuang limbah ke sungai yang airnya dibutuhkan masyarakat untuk mencuci dan mandi adalah suatu perbuatan salah yang mengandung mafsadah dan mudharat.Melakukan riba adalah suatu kezaliman besar. Namun ia melakukannya juga, karena ia harus mempertangung jawabkan perbuatannya itu di hadapan Allah, karena perbuatan itu dilakukannya atas pilihan bebasnya.Seandainya manusia berkeyakinan bahwa ia melakukan perbuatan itu karena dikehendaki Allah secara jabari, maka tidak logis ia diminta pertanggung jawaban atas penyimpangan perilakunya.
Dengan demikian, makna kebebasan dalam kacamata teologi Islam ialah manusia memiliki kebebasan dalam memilih.Adanya pemberikan reward and punisment merupakan suatu indikasi bahwa manusia itu bebas melakukan pilihan-pilihan. Semua keputusannya dalam melakukan pilihan-pilihan tersebut akan ditunjukkan kepadanya pada hari kiamat nanti untuk dipertanggung jawabakan di mahkamah (pengadilan) ilahi.  Allah berfirman dalam QS.99 : 7-8 :
“Barang siapa yang mengerjakan kebaikan seberat zarah pun, niscaya dia akan melihat (balasan) nya. Dan barang siapa yang mengerjakan kejahatan seberat zarah pun, niscaya dia akan melihat (balasan) nya pula”.  
Hal ini berarti bahwa dalam pandangan Islam, manusia bebas untuk memilih, bebas untuk menentukan, karena pada akhirnya dia yang harus bertanggungjawab terhadap semua perbuatannya ; karena itulah maka ada reward atau punishment dari Allah Swt.
Dengan demikian, makna kebebasan dalam konteks ini bukanlah kebebasan sebagaimana dalam faham liberalisme yang tidak dikaitkan dengan masuliyah di akhirat.  Kebebasan dalam Islam bukan kebebasan mutlak , karena kekebasan seperti itu hanya akan mengarah kepada paradigma kapitalis mengenai laisssez faire dan kebebasan nilai (value free). Kebebasan dalam pengertian Islam adalah kekebasan yang terkendali (al-hurriyah al-muqayyadah).
Dengan demikian, konsep ekonomi pasar bebas, tidak sepenuhnya begitu saja diterima dalam ekonomi Islam. Alokasi dan distribusi sumber daya yang adil dan efisien, tidak secara  otomatis terwujud dengan sendirinya berdasarkan kekuatan pasar. Harus ada lembaga pengawas dari otoritas pemerintah -yang dalam Islam- disebut lembaga hisbah.Kebebasan dalam konteks kajian prinsip ekonomi Islam dimaksudkan sebagai antitesis dari faham jabariyah (determenisme).Faham ini mengajarkan bahwa manusia bertindak dan berperilaku bukan atas dasar kebebasannya (pilihannya) sendiri, tetapi karena kehandak Tuhan (dipaksa Tuhan).Dalam faham ini manusia ibarat wayang yang digerakkan oleh dalang.
Determinisme seperti itu, tidak hanya merendahkan harkat manusia, tetapi juga menafikan tanggung jawab manusia. Karena adalah tidak logis manusia diminta tanggung jawabnya, sementara ia melakukannya secara ijbari (terpaksa).
b.      Pengertian kebebasan dalam perspektif ushul fiqh
Kebebasan berarti bahwa dalam muamalah, Islam membuka pintu seluas-luasnya di mana manusia bebas melakukan apa saja sepanjang tidak ada nash yang melarangnya. Aksioma ini didasarkan pada kaedah populer, ”Pada dasarnya dalam muamalah segala sesuatu dibolehkan sepanjang tidak ada dalil yanaga melarangnya”. Jika kita terjemahkan arti kebebasan bertanggung jawab ini ke dalam dunia binsis, khususnya perusahaan, maka kita akan mendapatkan bahwa Islam benar-benar memacu umatnya untuk melakukan inovasi apa saja, termasuk pengembangan teknologi dan diversifikasi produk.
Pertanggung-jawaban (mas-uliyah) yang harus dihadapi manusia di akhirat juga merupakan konsukensi fungsi kekhalifahan manusia sebagai khalifah.Dalam kapasitasnya sebagai khalifah, manusia merupakan pemegang amanah (trustee), karena itu setiap pemegang amanah harus bertanggung jawab atas amanah yang dipercayakan untuknya. Pertanggung jawaban, accountability atau  masuliyah ditekankan dengan perintah dari Allah melalui istilah hisab atau perhitungan di hari pembalasan. Istilah hisab ditemukan 109 kali dalam Al-quran dari akar kata hisab (perhitungan), muhasib (penghitungan/akuntan) dan muhasabah sebagai pertanggung jawaban yang merupakan manifestasi dari perilaku kehidupan di dunia ini.
Kepercayaan pada hari kiamat memiliki peranan penting dalam kehidupan seorang muslim yang harus mempertanggung jawabkan perbuatannya. Konsp pertanggung jawaban sudah ditetapkan oleh sunnatullah yang sangat ditekankan dalam Islam, bukan merupakan norma etika umum atau perundang-undangan negara. Konsep ini tertanam di masing-amsing individu muslim dan digambarkan dalam kehidupan masyarakat, tidak hanya terbatas pada para profesional, akademisi atau pengusaha saja.
Harus pula dipahami bahwa pertangggung-jawaban tidak hanya terbatas dalam konsep eskatologis (di akhirat), tetapi juga mencakup proses praktis di dunia ini, yakni berupa kemampuan analisis dan sajian ilmiah dalam akuntansi, misalnya apa yang diperintahkan Allah dalam Al-quran 2;282,
”Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk yang ditentukan, hendaklah kamu menulsikannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menulisnya dengan benar” (QS. 2;282).

2.      Makna kebebasan secara khusus

a.       System ekonomi sosial.
Dalam sistem ekonomi sosial tidak mengenal kebebasan individual karena segala sesuatunya di atur dan di tentukan oleh Negara secara Sentarlistis.
b.      System ekonomi liberalism dan kapitalisme.
Sedangkan dalam sistem ekonomi liberalisme, kapitalisme masalah kebebasan orang perorang sangat mendapatkan tempat yang terhormat, bahkan Negara tidak boleh ikut campur dalam urusan mereka  termasuk dalam bidang ekonominya.
c.       System ekonomi islam
Di dalam sistem ekonomi islam dalam islam masalah kebebasan ekonomi adalah tiang pertama dalam struktur pasar islam. Kebebasan di dasarkan atas ajaran-ajaran Fundamentalislam atau dengan kata lain, nilai dasar kebebasan ini merupakan konsekuensi logis dari ajaran tauhid dimana dengan pernyataan tidak ada tuhan selain Allah, artinya manusia terlepas dari ikatan perbudakan baik oleh alam maupun oleh manusia sendiri.

3.      Ayat yang menjelaskan tentang kebebasan dalam ekonomi islam.:
Ø  Dan apabila mereka melihat perniagaan atau permainan, mereka bubar untuk menuju kepadanya dan mereka tinggalkan kamu sedang berdiri (berkhotbah). Katakanlah: “ apa yag disisi Allah adalah lebih baik dari pada permainan dan perniagaan”, dan Allah sebaik-baik pemberi rizki (QS.62:11)
Ø  “ Dialah yang menjadikan bumi ini mudah bagi kamu maka berjalanlah dari segala penjuru dan makanlah sebagian dari rizkinya dan hanya kepada-Nya kami dikembalikan” (QS. Al-Mulk: 15)


Maksud Dalam QS.Al-Mulk diatas telah jelas bahwa tiap-tiap mausia diberikan kebebasan untuk mengelola sumber daya di bumi ini sesuai dengan kemampuan dan kebutuhannya masing-masing, dan bukan bermakna untuk mengelola sumber daya secara berlebih-lebihan.Dan hendaknya kita bersyukur atas segala karunia yang diberikan-Nya, dan hanya kepada-Nya kita akandikembalikan.

Kebebasan ekonomi islam adalah kebebasan berakhlak. Berakhlak dalam berkonsumsi, berdistribusi, produksi. Dengan kebebasan berkreasi dan berkompetisi akan melahirkan produktifitas dalam ekonom. Dengan dasar ayat diatas juga, islam menyarankan manusia untuk produktif. Kegiatan produksi adalah bagian penting dalam perekonomian.
Sedangkan kebebasan tidak terbatas adalah prilaku yang bisa mengakibatkan ketidak serasian antara pertumbuhan produksi dengan hak-hak golongan kecil dalam system distrbusinya. Yang akhirnya akan rusak tatanan sosial.

4.      Kebebasan dalam ekonomi
Kebebasan adalah tiang pertama dalam struktur pasar Islami.Kebebasan ini didasarkan atas ajaran-ajaran fundamental Islam, sebagaimana tertuang berikut ini.      
1. Tanggung Jawab dan Kebebasan
Prinsip tanggung jawab individu begitu mendasar dalam ajaran-ajaran Islam sehingga ia ditekankan dalam banyak ayat Al-Qur'an dan dalam banyak Hadits Nabi. Prinsip tanggung jawab individu ini disebut dalam banyak konteks dan peristiwa dalam sumber-sumber Islam.
Setiap orang akan diadili sendiri-sendiri di Hari Kiamat kelak, dan bahkan ini pun akan dialami oleh para nabi dan keluarga-keluarga yang paling mereka cintai sekalipun. Tidak ada satu cara pun bagi seseorang untuk melenyapkan perbuatan-perbuatan jahatnya kecuali dengan memohon ampunan Allah dan melakukan perbuatan-perbuatan yang baik (amal salih).
Sama sekali tidak ada konsep Dosa Warisan, (dan karena itu) tidak ada seorang pun bertanggung jawab atas kesalahan-kesalahan orang lain, dan tidak pembaptisan dan juga tidak ada bangsa pilihan (Tuhan).
Setiap individu mempunyai hubungan langsung dengan Allah. Tidak ada perantara sama sekali. Nabi SAW sendiri hanyalah seorang utusan (Rasul) atau kendaraan untuk melewatkan petunjuk Allah yang diwahyukan untuk kepentingan umat manusia. Ampunan harus diminta secara langsung dari Allah.Tidak ada seorang pun memiliki otoritas sekecil apa pun untuk memberikan keputusannya atas nama-Nya. Justru bertentangan dengan semangat ajaran Islam bila (orang) mengemukakan "pengakuan dosa" kepada seseorang penjabat agama.
Setiap individu mempunyai hak penuh untuk berkonsultasi dengan sumber-sumber Islam (Al-Qur'an dan Sunnah) untuk kepentingannya sendiri. Dia harus menggunakan hak ini, karena ia merupakan landasan untuk melaksanakan tanggung jawabnya kepada Allah. Belajar adalah proses rasional, dan ia tidak dapat diperoleh melalui praktek- praktek spiritual atau meditasi. Mengajarkan agama adalah prosedur ilmiah yang tidak berisi harapan agar dia (si pengajar) mendapatkan hak istimewa atau kekuasaan terhadap orang yang diajarnya.
Islam telah sempurna dengan berakhirnya wahyu yang disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW hingga saat wafatnya.Tidak ada seorang pun dibenarkan menambah, mengurangi atau mengubahnya, walau hanya satu pernyataan saja. Setiap pemahaman deduktif dari, penafsiran atau penerapan suatu teks Al-Qur'an atau Sunnah hanyalah sekedar pemahaman perorangan yang boleh jadi berbeda-beda, dan tidak ada seorang pun diantara mereka berhak memaksakan berlakunya pemahamannya itu kepada orang lain.
Tanggung jawab Muslim yang sempurna ini tentu saja didasarkan atas cakupan kebebasan yang luas, yang dimulai dari kebebasan untuk memilih keyakinan dan berakhir dengan keputusan yang paling tegas yang perlu diambilnya. Karena kebebasan itu merupakan kembaran dari tanggung jawab, maka bila yang disebut belakangan itu semakin ditekankan berarti pada saat yang sama yang disebut pertama pun mesti mendapatkan tekanan lebih besar.
2. Sejarah Kebebasan Ekonomi di Kalangan Umat Muslim
Sepanjang sejarah umat Muslim, kebebasan ekonomi sudah dijamin dengan berbagai tradisi masyarakat dan dengan sistem hukumnya.Nabi SAW tidak bersedia menetapkan harga-harga walaupun pada saat harga-harga itu membumbung tinggi.Ketidaksediaannya itu didasarkan atas prinsip tawar-menawar secara sukarela dalam perdagangan yang tidak memungkinkan pemaksaan cara-cara tertentu agar penjual menjual barang-barang mereka dengan harga lebih rendah daripada harga pasar selama perubahan-perubahan harga itu disebabkan oleh faktor-faktor nyata dalam permintaan dan penawaran yang tidak dibarengi dengan dorongan-dorongan monopolik maupun monopsonik. Lebih dari itu, Nabi SAW berusaha sungguh-sungguh untuk memperkecil kesenjangan informasi di pasar ketika beliau menolak gagasan untuk menerima para produsen pertanian sebelum mereka sampai di pasar dan mengetahui benar apa yang ada di sana. Beliau sangat tegas dalam mengatasi masalah penipuan dan monopoli (dalam perdagangan), sehingga beliau menyamakan kedua dengan dosa-dosa paling besar dan kekafiran.
Setelah Nabi SAW dan selama berabad-abad dalam sejarah Islam, umat Muslim mempertahankan prinsip kebebasan yang senantiasa dilaksanakan ini.Konsep pengendalian perilaku moral di pasar itu dilaksanakan oleh Nabi sendiri.Selama beberapa abad pertama Hijriyyah, sejumlah pakar menulis buku-buku tentang peranan dan kewajiban-kewajiban pengendali pasar, atau al-Muhtasib itu.Tema yang terkandung dalam semua tulisan ini adalah pelestarian kebebasan di pasar dan penghapusan unsur-unsur monopolistik.Prinsip kebebasan tersebut dipertahankan oleh banyak qâdî (hakim) Muslim yang bahkan sampai mengancam sistem hukum itu sendiri dengan mencabut hak untuk ikut campur dalam kasus monopoli. Hal ini benar-benar telah mendorong Ibnu Taimiyyah menulis bukunya, Al-Hisbah fi al-lslâm, untuk menunjukkan bahwa kebebasan ekonomik individual harus dibatasi dalam hal-hal serupa itu, bahkan termasuk pembatasan-pembatasan itu adalah penentuan harga barang-barang dan jasa.
Dengan latar belakang ini, dalam rangka mengemukakan definisi kebebasan ekonomi yang dimaksudnya, Ibnu Taimiyyah secara meyakinkan dapat memberikan pernyataan tegas bahwa individu-individu sepenuhnya berhak menyimpan harta milik mereka, dan tidak ada seorang pun berhak mengambil semua atau sebagian daripadanya tanpa persetujuan mereka secara bebas, kecuali dalam hal-hal tertentu di mana mereka diwajibkan melepaskan hak-hak tersebut.
Maulânâ Abul A'lâ Maudûdî menyatakan bahwa dalam pandangan Islam, individulah yang penting dan bukan komunitas, masyarakat atau bangsa.Dia berpendapat bahwa individu tidak dimaksudkan untuk melayani masyarakat, melainkan masyarakatlah yang benar-benar harus melayani individu. Tidak ada satu komunitas atau bangsa pun bertanggung jawab di depan Allah sebagai kelompok; setiap anggota masyarakat bertanggung jawab di depan-Nya secara individual. Alasan yang bebas dan tertinggi dari adanya sistem sosial adalah kesejahteraan dan kebahagiaan individu, bukan kesejahteraan dan kebahagiaan masyarakat.Dari sinilah ukuran yang benar dari suatu sistem sosial yang baik adalah batas yang membantu para anggota masyarakat untuk mengembangkan kepribadian mereka dan meningkatkan kemampuan personal mereka.
Berdasarkan hal itulah Islam tidak menyetujui ada organisasi sosial dan rencana kesejahteraan sosial apa pun bila ia menekan individu-individu dan mengikat mereka begitu kuat dengan otoritas sosial, sehingga kepribadian mereka yang bebas akan hilang dan sebagian besar diantara mereka menjadi sekedar mesin atau alat yang berada di tangan orang-orang lain yang berjumlah kecil.
Dalam bukunya, The Economic Enterprise in Islam, M.N. Siddîqî menyatakan bahwa Islam memberikan kepercayaan sangat besar kepada mekanisme pasar. Beberapa implikasi dari doktrin kebebasan ekonomi dalam Islam tersebut, dalam kaitannya dengan pasar, dapat dibaca dalam pikiran-pikiran Ibnu Taimiyyah sebagai berikut:
orang-orang bebas masuk dan meninggalkan pasar.
Tingkat informasi yang cukup mengenai kekuatan-kekuatan pasar dan barang-barang dagangan (komoditas) adalah perlu.Ibnu Taimiyyah meneliti beberapa kontrak (perjanjian) di mana salah satu pihak yang terlibat tidak bertindak sesuai dengan persyaratan ini, sementara dia memberikan kepada pihak lainnya kesempatan untuk meninjau kembali kontrak itu.Dia juga menganggapnya sebagai tanggung jawab pemerintah (al-Muhtasib) untuk memperbaiki situasi tersebut.
Unsur-unsur monopolistik harus dilenyapkan dari pasar.Ibnu Taimiyyah tidak membolehkan berbagai koalisi profesional, baik yang terdiri dari kelompok-kelompok penjual maupun pembeli.Dia membolehkan al-Muhtasib untuk ikut campur tangan dan menentukan harga barang-barang sejenis kapan saja unsur-unsur monopolistik menampilkan diri di pasar.
Dalam batas kebebasan ini, dia mengakui berbagai peningkatan permintaan dan penawaran yang disebabkan oleh harga-harga tersebut. Dia menyetujui penaikan harga-harga yang disebabkan olehnya, karena "memaksa orang untuk menjual barang dengan harga yang ditentukan sama dengan pemaksaan tanpa hak," dan meskipun si penjual seharusnya tidak dipaksa untuk kehilangan laba tetapi pada saat yang sama dia seharusnya tidak diperbolehkan merugikan orang lain.
Setiap penyimpangan dari pelaksanaan kebebasan ekonomi yang jujur, seperti sumpah palsu, penimbangan yang tidak tepat, dan niat buruk dikecam oleh para penulis Muslim, demikian juga memproduksi dan memperdagangkan barang-barang dagangan (komoditas) yang tercela karena tidak baik dari alasan-alasan kesehatan ataupun moral sesuai dengan norma-norma Qur'ânî, seperti minuman-minuman beralkohol, minuman-minuman keras, pelacuran dan perjudian.
5.         Kebebasan Ekonomi Menurut Islam,Tujuan dan Batas-Batasnya
Islam mengakui kebebasan ekonomi,tidak mengingakari atau mengesampingkannya seperti yang dilakukan oleh ekonomi sosialis,namun tidak melepaskannya tanpa kendali seperti yang dilakukan ekonomi kapitalis. Sikap islam sejak semula adalah adil dan lurus.
Pada saat islam mengakui kebebasan ekonomi,ia menentukan ikatan-ikatan,dengan tujuan merealisasikan dua hal:

1. Agar kegiatan ekonomi berdasarkan hukum menurut pandangan Islam.
2. Terjaminnya hak negara dalam ikut campur,baik untuk mengawasi kegiatan ekonomi terhadap individu-individu maupun untuk mengatur atau melaksanakan beberapa macam kegiatan ekonomi yang tidak mampu ditangani oleh individu-individu atau tidak mampu mengeksploitasinya dengan baik.

Kegiatan Ekonomi harus berdasarkan Syariat
Kemerdekaan individu dalam melaksanakan kegiatan ekonomi terikat oleh kewajiban menempatkan kegiatan ini diatas hukum menurut pandangan Islam.
Setiap kegiatan ekonomi itu ada hukumnya menurut Islam,kecuali yang telah oleh nash sebagai haram. Demikian itu sesuai dengan kaidah, “Segala sesuatu pada asalnya adalah boleh.”
Seperti yang dijelaskan dalam firman Allah SWT :

“Dialah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untukmu.”
Ketentuan-ketentuan tentang haramnya kegiatan ekonomi lebih sedikit jika dibandingkan dengan kegiatan ekonomi yang dibolehkan yang merupakan hukum aslinya kegiatan ekonomi.

Orang yang memperhatikan kegiatan ekonomi yang diharamkan Islam, akan berkesimpulan bahwa macam-macam yang diharamkan itu benar-benar menyimpang dari jalan fitrah yang sehat. Macam-macam kegiatan ekonomi yang diharamkan ini adakalanya terdiri atas sogokan atau penyalahgunaan pengaruh dan kekuasaan atau penipuan terhadap sesama manusia atau merampas harta mereka secara batal atau menghukumi sendiri dalam soal kebutuhan-kebutuhan pokok hidup mereka maupun menggunakan kesempatan dari kondisi mereka yang sangat fakir dan membutuhkan.
Dalam hal ini Allah berfirman:

وَلاَتَاْكُلُوْااَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِلْبَاطِلِ وَتُدْ لُوْابِهَا اِلَى اْلحُكَّامِ لِتَاْ كُلُوْا فَرِيْقَا مِنْ اَمْوَالِ النَّاسِ بِاْلاِثْمِ وَاَنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ

Artinya:
“Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batal dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian dari harta itu dengan jalan berbuat dosa, padahal kamu mengetahui.”
Dengan mengharamkan cara-cara tersebut di atas dalam kegiatan ekonomi, Islam mempunyai tiga macam tujuan, yaitu:

1. Mengapa hubungan-hubungan ekonomi manusia agar berdiri di atas landasan gotong royong saling cinta dan kasih, kejujuran dan keadilan, sebagai ganti dari saling membenci, perselisihan, penganiayaan, penipuan dengan segala akibatnya.
2. Menumbuhkan landasan tersebut di atas sebagai ganti dari penggunaan cara-cara eksploitasi yang menyebabkan manusia memperoleh harta tanpa jerih payah.
3. Menutup lubang-lubang yang akan menyebabkan terpusatnya kekayaan pada tangan beberapa individu saja. Cara-cara usaha yang dibolehkan syariat pada umumnya akan menbawa pada keuntungan yang seimbang dan logis. Adapun keuntungan-keuntungan yang mencolok dan kekayaan yang terlampau besar pada umumnya berasal dari cara-cara usaha yang berdasarkan syariat. Di balik pengharamannya Islam menerapkan cara-cara semacam ini untuk merealisasikan persesuaian antara kesempatan-kesempatan dan cara penyelesaian atas faktor-faktor terpenting, yakni hal yang sering menyebabkan hilangnya keseimbangan ekonomi dalam masyarakat.

Ø    Kebijakan ekonomi menurut ekonomi islam harus ditopang oleh empat hal, di antaranya sebagai berikut.
a.       Tanggung jawab social. Tanggung jawab sosial bukan donasi dalam system ekonomi konvensional. tanggung jawab sosial menurut ekonomi islam adalah pernyataan bahwa dibalik kekayaan yang kita dapatkan secara jernih payah, terdapat hak orang lain dan harus diberikan kepada mereka. System ekonomi konvensional memandang bahwa pemberian sebagian harta kepada orang lain merupakan bentuk kemurahan hati, bukan pengakuan adanya hak orang lain. Dalam hal ini, Islam menganut sistem kesamaan sosial, bukan menganut sistem pada teori kesamaan ekonomi seperti dipegang oleh sosialisme.
b.      Kebebasan ekonmi yang terbatas oleh syariah. Hal ini berlandas pada teori, prinsif asal muamalah adalah kebolehan selama belum ada alasan untuk meninggalkannya.
c.       Pengakuan multiownership. Islam mengakui adanya kepemilikan pribadi, kepemilikan pribadi, kepemilikan bersama, dan kepemilikan negara. Hal ini berbeda dengan teori kapitalisme yang hanya mengakui kepemilikan individu dan berbeda dengan sosialisme yang hanya mengakui kepemilikan besama oleh komunal atau Negara.
d.      Etos kerja yang tinggi. Artinya kesangguan dan kemampuan individu dalam memberikan yang terbaik dalam pengelolaansumber-sumber ekonomi dengan cara bekerja keras, efisien, disiplin, dan tangguh.

BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN
Sekalipun manusia dalam perkembangan selanjutnya menjadi berbaga bangsa, memiliki berbagai bahasa, dan agam yang berlainan merek hakikatnya berasal dari sumber yang satu. Muslim adalah “bersaudara ” mempunyai kedudukan yang sama. Kalaupun ada perbedaan diantara mereka  adalah ketakwaan, perbuatan baiknya, tinggi rendah moralnya dan bagaimana ia menggunakan hati nuraninya.
Karena manusia adlah bersaudara yang saling mengasihi, sama derajatnya, tidak boleh diperbudak oleh manusia.  Manusia dalam islam adalah bebas. Bebas dala kemauan dan perbuatan, bebas dari paksaan orang lain, bebas dari eksploitasi orang lain dan bebas dari pemilikan orang lain. Manusia dalam islam hanya milik allah, hamba allah dan tidak boleh menjadi hamba selain-Nya.
Di dalam ajaran islam, individu tidak berada diatas masyarakat dan masyarakat tidak pula boleh merugikan individu. Kepentingan keduanya harus seimbang. Kepentingan














DAFTAR PUSTAKA


1.      Nata abudin, akhlak tasawuf (Jakarta:rajawali pers, 2012)
2.      Abdullah yatimin, studi akhlak dalam perspektif Al- Quran (Jakarta:amzah, 2008)
3.      Hawari Muhammad, reideologi islam (bogor:Al-azhar pers, 2007)
























Comments

Unknown said…
kunjungi blogku ya, http.//hofurpurbalingga.blogspot.com

Popular posts from this blog

jalan damai untuk Indonesia kita bersama

Produk Giro dalam Bank Syariah

prinsip produksi dalam Al Qur'an