Konsep Mudharabah Dalam Perbankan Syariah



Mudharabah berasal dari kata dhaaraba - yudhaaribu - mudharabatan, yang secara makna berarti saling memukul. Maksutnya disini ialah dapat dimaknai dengan saling mematungkan modal dalam kerjasama usaha. Modal yang pertama berupa uang dan yang lain berupa skill atau kemampuan mengeola usaha. Sedangkan secara istilah, mudharabah ialah akad kerja sama antara dua pihak dimana pihak pertama sebagai penyedia seluruh modal (sohobul mal), sedang pihak yang lain bertindak sebagai pengelola usaha (mudharib).

Dalam kaitannya dengan perbankan syariah, pihak bank sebagai pemilik modal memberikan penjaman modal atau membiayai 100% kebutuhan modal usaha kepada nasabahnya selaku pengelola usaha. Keduanya bekerja sama dalam membangun sebuah usaha. Adapun selaku pengelola, nasabah boleh melakukan segala kegiatan usaha yang sesuai dengan syariat. Dan bank, tidak ikut serta dalam menejmen usaha tersebut, tetapi memiliki hak untuk melakukan pembinaan dan pengawasan.
Adapun berkenaan dengan jangka waktu usaha, dan berbagi keuntungan ditentukan bersama berdasarkan kesepakatan masing-masing. Keuntungan didasari atas akad bagi hasil. Keuntungan tidak dipatok sejak awal, melainkan disesuaikan dengan hasil usaha. Baik itu yang menguntungkan atau merugikan. Sedangkan, dalam hal kerugian, bank menanggung semua kerugian jika usaha tersebut gagal, kecuali si pengelola sengaja melakukan perbuatan yang dapat merugikan usaha.

Oleh karena itu, jika diperlukan, pihak bank boleh meminta jaminan kepada nasabah untuk menghindari kesengajaan atau kecurangan dari nasabah tersebut. Jaminan itupun hannya dapat dicairkan jika nasabah terbukti melakukan kecurangan yang dapat menimbulkan kerugian di pihak bank. Walaupun pada prinsipya, bank tidak boleh meminta jaminannya.

Rukun dan syarat-syarat akad mudharabah antara lain:
1.       Sohibul mal dan mudharib harus merupakan orang yang cakap hokum.
2.       Pernyataan ijab dan Kabul harus secara eksplisit dituangkan secara langsung dan tertulis dengan disertai serah terimanya.
3.       Modal yang secara jelas, baik berupa uang maupun modal yang dapat dinilai, namun tidak boleh dalam betuk piutang.
4.       Pembagian hasil haarus diperuntukkan bagi kedua belah pihak yang disesuaikan dengan kesepakatan masing-masing. Sedangkan jika terjadi kerugian, semuanya ditanggung pihak bang atau pemodal. Pengelola tidak boleh dimintai ganti rugi kecuali kerugian tersebut atas dasar kesengajaan dari pihak pengelola.
5.       Kegiatan usaha berupa usaha-usaha yang dihalalkan oleh agama. Dan dalam hal ini bank tidak boleh ikut campur atau menghalang-halangai pengelola dalam usahannya. Kecuali dalam hal pembinaan dan pengarahan.
Akad mudharabah boleh dibatasi dalam jangka waktu tertentu sesuai kesepakatan. Akan tetapi tidak boleh dikatkan dengan kejadian yang belum tentu terjadi. 

download fatwa MUI/DSN tentang Mudharabah di sini

Comments

Popular posts from this blog

jalan damai untuk Indonesia kita bersama

Produk Giro dalam Bank Syariah

prinsip produksi dalam Al Qur'an