prinsip produksi dalam Al Qur'an

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Produksi, distribusi, dan konsumsi sesungguhnya merupakan satu rangkaian kegitan ekonomi yang tidak bisa di pisahkan. Ketiganya memang saling memengaruhi, namun harus diakui produksi merupakan titik pangkal dari kegiatan itu. Tidak akan ada distribusi tanpa produksi.
            Pada prinsipnya islam lebih menekankan berproduksi demi untuk memenuhi kebutuhan orang banyak, bukan hanya sekedar memenuhi segelintir orang yang memiliki uang, sehingga memiliki daya beli yang lebih baik. Karena itu bagi islam, produksi yang surplus dan berkembang baik secara kuantitatif maupun kualitatif tidak dengan sendirinya mengindikasikan kesejahteraan bagi masyarakat.
Kegiatan produksi dan konsumsi merupakan sebuah mata rantai yang saling berkait satu dengan lainnya. Kegiatan produksi harus sepenuhnya sejalan dengan kegiatan konsumsi. Tujuan kegiatan produksi adalah suatu kegiatan yang menyediakan barang dan jasa yang memberikan mashlahah meksimum bagi konsumen yang diwujudkan dalam pemenuhan kebutuhan manusia pada tingkatan moderat, menemukan kebutuhan masyrakat dan pemenuhannya, menyediakan persediaan barang/jasa dimasa depan serta memenuhi sarana bagi kegiatan sosial dan ibadah kepada Allah swt.











B.     Rumusan Maslah

1.      Surat Al Baqarah ayat 198
2.      Surat As syura’ ayat 10.
3.      Surat Al Adiayat ayat 6.
4.      Surat Ar Rum ayat 23.
5.      Surat Ibrahim ayat 27.
6.      Prinsip-prinsip produksi dalam Islam.
















DAFTAR ISI
1.      Surat Al Baqarah ayat 198……………………………………………………………… 5
2.      Surat As syura’ ayat 10………………………………………………………...……….. 6
3.      Surat Al Adiayat ayat 6………………………………………………………………… 7
4.      Surat Ar Rum ayat 23…………………………………………………...……………… 8
5.      Surat Ibrahim ayat 27………………………………………………………………….. 10
6.      Prinsip-prinsip produksi dalam Islam………………………………………….………. 11




















BAB II
PEMBAHASAN
A.    Surat Al Baqarah ayat 198.

لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَبْتَغُوْا فَضْلاً مِّنْ رَّبِّكُمْ فَإِذَا أَفَضْتُمْ مِنْ عَرَفَاتٍ فَاذْكُرُوْا اللهَ عِنْدَ الْمَشْعَرِ الْحَرَامِ وَاذْكُرُوْهُ كَمَا هَدَاكُمْ وَإِنْ كُنْتُمْ مِنْ قَبْلِهِ لَمِنَ الضَّالِّيْنَ (١٩٨)
 “Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezki hasil perniagaan) dari Tuhanmu. Maka apabila kalian telah bertolak dari Arafah, berzikirlah kepada Allah di Masy’aril Haram. Dan berzikirlah (dengan menyebut nama)-Nya sebagaimana yang Dia tunjukkan kepadamu; dan sesungguhnya kalian sebelum itu benar-benar termasuk orang-orang sesat”.
1)      (Apa yang dimaksud dengan: laysa ‘alaykum junāhun an tabtaghūfadl’lan min rabbikumtidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezki hasil perniagaan) dari Tuhanmu?)
 Pertama, disebutkan bahwa setelah pelaksanaan haji diperbaharui syariatnya oleh Islam ingat: sebelum Islam datang prosesi tahunan haji sudah ada kendati diwarnai dengan penyembahan terhadap berhala-berhala banyak yang merasa keberatan untuk memanfaatkan musim ibadah kolosal itu untuk melakukan perniagaan sehingga pasar-pasar sontak sepi. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas ra. bahwasanya: ”Ukazh, Majannah dan Dzul Majaz adalah nama-nama pasar di zaman Jahiliyah. Ketika Islam datang mereka seakan-akan merasa berdosa bila tetap berdagang di pasar-pasar tersebut. Maka turunlah Surat al-Baqarah ayat 198 ini.” (Shahih Bukhari). Jadi ayat ini turun untuk memberikan semacam justifikasi bahwa berdagang itu pada dasarnya ialah mencari karunia Allah sehingga tidak ada alasan untuk melarangnya.
Kata فَضْلًا (fadl’lan) sebetulnya selain bermakna “karunia” juga bermakna “kemuliaan” atau “keutamaan”. Bisa dirumuskan bahwa perniagaan itu adalah salah satu bentuk pencarian karunia dari Allah yang tujuannya untuk mendatangkan “kemuliaan” dan “keutamaan” bagi pelakunya. Sehingga, selain sekaitan dengan pelaksanaan ibadah haji, penggalan ayat ini juga menjadi pernyataan umum tentang utama dan mulianya profesi berniaga.
Setelah itu,  (fa idzā afadltum min ‘arafātin fadzkurūl-lāɦa ‘indal-masy’aril-harāmimaka apabila kalian telah bertolak dari Arafah, berzikirlah kepada Allah di Masy’aril Haram). Masy’aril Haram ialah sebuah perbukitan luas di Muzdalifah. Di masyarakat, nama Muzdalifah lebih populer daripada Masy’aril Haram. Berdasarkan penggalan ayat ini, yang harus diperbanyak di tempat ini ialah berzikir kepada Allah, tetapi yang terkenal oleh sebagian besar jamaah haji hanya mengumpulkan batu-batu kecil yang akan digunakan sebagai ‘peluru’ untuk bertempur melawan setan di Jamarat. Itu betul, tapi jangan lupa bahwa amunisi paling handal mnggempur pertahanan setan ialah berzikir kepada Allah, dengan menyebut-sebut nama-Nya.

 Pada kata: (wadzkurūɦu kamā ɦadākum),dan berzikirlah (dengan menyebut nama)-Nya sebagaimana yang Dia tunjukkan kepadamu]. Coba cermati penggalan ayat ini dengan nanar! Rahasianya ada pada frasa كَمَا هَدَاكُمْ (kamā ɦadākum,sebagaimana yang Dia tunjukkan kepadamu). Menurut konteks ayat, ungkapan ini bisa bermakna “sebagaimana manasik haji yang telah Allah ajarkan kepada kalian”. Sementara menurut pengertiannya yang paling umum, “berzikirlah kepada Allah sebagaimana petunjuk zikir yang telah Dia ajarkan kepada kalian”. Lalu bagaimana gerangan berzikir berdasarkan petunjuk yang benar itu? Firman-Nya: “Serulah Tuhanmu dengan rendah hati dan suara yang lembut. (Karena) sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” Jadi, berdasarkan ayat ini, tidak bisa dikatakan zikir atau seruan kepada Allah manakala penyebutan nama Allah itu dilakukan dengan “arogan, amarah, dan semena-mena” kepada pihak lain. Pada hakikatnya, perbuatan seperti itu bukanlah zikir atau seruan kepada Allah tapi kepada setan; karena mereka telah menjadi bala tentara setan. Dan setan pulalah yang tujuan hidupnya menipu manusia dengan cara menimbulkan permusuhan di antara mereka.
Sebelum Allah mengajarkan petunjuk zikir yang benar itu, manusia sungguh hidup dalam kesesatan: (wa in kuntum min qabliɦi laminadl-dlāllīndan sungguh kalian sebelum itu benar-benar termasuk orang-orang sesat). Pernyataan Allah ini menarik untuk ditelusuri. Bukankah sebelum Islam datang, orang-orang Arab dan kaum yang serumpun dengannya, sudah menyebut Tuhan yang menciptakan alam semesta ini dengan sebutan “Allah”? Ini mendapat pengakuan dari Alquran. Sebagimana firmanNya dalam al-Qur’an yang artinya: Dan sungguh jika kamu tanyakan kepada mereka: ‘Siapakah yang menciptakan langit dan bumi dan menundukkan matahari dan bulan?’ Tentu mereka akan menjawab: ‘Allah’, maka betapakah mereka (dapat) dipalingkan (dari jalan yang benar).

B.     Surah Asyura’ ayat 10:
 وَمَا اخْتَلَفْتُمْ فِيهِ مِنْ شَيْءٍ فَحُكْمُهُ إِلَى اللَّهِ ذَلِكُمُ اللَّهُ رَبِّي عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَإِلَيْهِ أُنِيبُ
Tentang sesuatu apapun kamu berselisih, maka putusannya (terserah) kepada Allah.(Yang mempunyai sifat-sifat demikian) itulah Allah Rabbku. Kepada-Nyalah aku bertawakkal dan kepada-Nyalah aku kembali.
Ayat tersebut menjelaskan tentang sesuatu apapun kamu berselisih di jelaskan bahwa masalah pokok maupun maupun masalah cabang yang kamu tidak bersepakat, dikembalikan kepada kitab Allah dan sunnah Rasul-Nya, yang dihukuminya adalah hak dan yang menyelisihinya adalah batil. Mafhum ayat ini adalah bahwa kesepakatan umat merupakan hujjah yang qath’i (pasti), karena Allah tidak memerintahkan kita mengembalikan kepada-Nya kecuali jika kita berselisih, sehingga dalam hal yang kita sepakati, maka sudah cukup dengan kesepakatan umat, dan bahwa ia terpelihara dari kesalahan. Namun demikian, kesepakatannya harus sesuai dengan yang ada dalam kitabullah dan sunnah Rasul-Nya. Ada pula yang menafsirkan, bahwa apa pun yang kamu perselisihkan dengan orang kafir, maka keputusan-Nya diserahkan kepada Allah pada hari Kiamat, yakni Dia akan memutuskannya di antara kamu pada hari itu, oleh karena Allah adalah Ar Rabb; Pencipta, Pemberi rezeki, dan pengatur, maka Allah pula yang memberikan keputusan di antara hamba-hamba-Nya dengan keputusan qadari-Nya, syar’i-Nya dan jaza’I (pembalasan)-Nya.
Dan pada ari ayat yang mengatakan bahwa “kepada Nya aku bertawakkal” maksudnya:  aku bersandar kepada-Nya dalam mendatangkan manfaat dan menolak madharat serta percaya kepada-Nya bahwa Dia akan memberikan pertolongan. Yakni menghadap, baik dengan hatiku maupun badanku serta taat dan beribadah kepada-Nya. Syaikh As Sa’diy berkata, “Kedua hal ini merupakan dasar yang sering disebut Allah dalam kitab-Nya, karena dengan berkumpulnya keduanya tercapailah kesempurnaan pada seorang hamba, dan kesempurnaan itu akan hilang ketika keduanya hilang atau salah satunya sebagaimana firman Allah swt yang artinya “Hanya kepada Mu kami menyembah dan hanya kepada Mu kami memohon.
C.     Surat Al-Adiyat ayat 6

إِنَّ الْإِنسَانَ لِرَبِّهِ لَكَنُودٌ
“Sesungguhnya manusia tidak bersyukur kepada Tuhannya!”
Kecenderungan yang paling lazim pada manusia adalah kunud, yang berarti 'tidak ada rasa syukur'. Manusia mengingkari rahmat, kasih sayang, dan nikmat Allah. Itu memang sifatnya karena dalam dirinya ada benih ketidak-bergantungan yang menggemakan sifat Allah, Yang Sama Sekali Tidak Bergantung. Dalam kesombongannya manusia menganggap dirinya independen, suatu pemikiran yang sesat mengenai aspek Ilahiah.
Pada ayat di atas Allah bersumpah untuk meyakinkan para pendengarnya tentang hakikat keugian besar yang pasti akan di hadapi oleh mereka yang di lukiskan oleh ayat di atas. Kerugian tersebut baru akan di sadari setelah terjadi dan tidak dapat di perbaiki lagi, persisi seperti serangan mendadak seperti pada firman Allah swt. Dalam firmannya Allah menjelaskan bahwa siapa yang merugi dan celaka orang itu dengan menyatakan bahwa: Sesungguhnya jenis manusia secara umum khususnya terhadap Tuhan pemelihara yang selalu berbuat baik kepadanya sangat ingkar, sehingga tidak bersyukur kepada Allah swt.
Kata kanuud adalah bentuk kata dari kanada, yang artinya tanah yang tandus  dan kemudian maknanya berkembang menjadi durhaka.  Dalam ayat ini Rasul bersabda: “Taukah kalian, apa yang di maksud dengan Al-Kanud?”. Para sahabat menjawab: “allah dan Rasulnya lebih mengetahui.”
D.    Surat Ar-Rum ayat 23

وَمِنْ آيَاتِهِ مَنَامُكُمْ بِاللَّيْلِ وَالنَّهَارِ وَابْتِغَاؤُكُمْ مِنْ فَضْلِهِ إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَسْمَعُونَ
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah tidurmu di waktu malam dan siang hari dan usahamu mencari sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang mendengarkan.
Ayat ini masih membicarakan tentang tanda-tanda kekuasaan dan kebesaran Allah, alam semesta dan hubungannya dengan keadaan manusia, pergantian siang dan malam, serta tidurnya manusia di malam hari dan bangunnya mencari rezki di siang hari. Manusia tidur di malam hari agar badannya mendapatkan ketenangan dan istirahat, untuk memulihkan tenaga-tenaga yang digunakan waktu bangunnya. Tidur dan bangun itu silih berganti dalam kehidupan manusia, seperti silih bergantinya siang dan malam di alam semesta ini. Dengan keadaan yang silih berganti itu seperti tidur dan bangun bagi manusia, dia akan mengetahui nikmat Allah serta kebaikan-Nya. Di waktu tidur manusia akan mendapatkan makanan yang baik bagi organ tubuhnya. Begitu juga dia akan mendapatkan di waktu bangun pergerakan anggota tubuhnya dengan leluasa.
Dalam ayat ini tidur didahulukan dari bangun, padahal kelihatannya bangun itu lebih penting dari pada tidur, karena di waktu bangun itu orang bekerja, berusaha dan melaksanakan tugas. Tugas dan kewajibannya dalam hidup, yang terkandung dalam perkataan-Nya, "dan usahamu mencari sebagian dari karunia-Nya", agar nikmat tidur itu diperhatikan. Pada umumnya manusia itu sedikit sekali yang memperhatikannya. Tidur merupakan pengasingan manusia dari kesibukan-kesibukan hidup, dan terputusnya hubungan antara jiwanya dengan Zatnya sendiri, seakan-akan identitasnya hilang di waktu itu. Dari segi inilah kebanyakan manusia memandang tidur itu sebagai suatu hal yang tidak penting. Ini adalah pengertian yang sudah salah dalam memahami nikmat yang besar itu yang dianugeratikan Tuhan kepada manusia.
 
Dalam keadaan tidur dan dalam keadaan antara bangun dan tidur, manusia pergi kemana saja yang ia sukai dengan akal dan rohnya ke balik alam materi ini di sana tak ada belenggu dan halangan. Dan di sana dia dapat merealisir apa yang tak dapat direalisirnya di dalam dunia serba benda ini. Dalam alam mimpi itu dia akan mendapat kepuasan. 
Berapa banyak orang yang miskin, tapi dalam mimpinya ia dapat memakan apa yang diingininya. Berapa banyak orang yang teraniaya tapi dalam mimpinya ia dapat mengobati jiwanya dari keganasan dan kelaliman. Berapa banyaknya orang-orang yang bercinta-cintaan serta berjauhan tempat tinggal, tetapi dalam mimpi mereka dapat berjumpa dengan sepuas hatinya. Dan banyak lagi contoh lain. 
Menurut ahli ilmu jiwa, mimpi yang dialami dalam waktu tidur adalah sebagai penetralisir yakni pemurni dan penawar bagi jiwa. Bagi orang-orang yang sedang bercinta-cintaan umpamanya, mereka dapat mewujudkan apa yang diingininya atau dikhayalkannya di waktu bangun. Demikian pula halnya dengan orang-orang yang teraniaya, orang yang lapar dan sebagainya. Dengan situasi itu jiwa akan lega dan tenteram.
Kalau tidak demikian tentu akan terjadi ketegangan-ketegangan jiwa yang sangat berbahaya. Jadi dalam dunia tidur manusia akan mendapat kepuasan akal, rohani dan jiwanya. Hal mana tak dapat diperolehnya di waktu bangun.
Apabila tubuh manusia memerlukan makan dan minum, maka roh, jiwa dan akalpun memerlukan makan dan minum. Makan dan minumnya itu dilakukannya di waktu tidur. Tidur itu tidak lain, melainkan belenggu dari tubuh tetapi kebebasan bagi jiwa. Dengan demikian segi kejiwaan mendapat kebahagiaannya di waktu tidur, bebas dari kebendaan, tekanan dan kelaliman. Kalau tidak demikian, roh itu akan selalu terbelenggu dalam tubuh dan cahayanya akan pudar.




E.     Surat Ibrahim ayat 27
يُثَبِّتُ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا بِالْقَوْلِ الثَّابِتِ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي الآخِرَةِ وَيُضِلُّ اللَّهُ الظَّالِمِينَ وَيَفْعَلُ اللَّهُ مَا يَشَاءُ
“Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh itu didalam kehidupan di dunia dan di akherat, dan Allah menyesatkan orang-orang yang zhalim dan berbuat apa yang Dia kehendaki.” (Qs. Ibrahim : 27)

Dalam hal ini, Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:

“Apabila seorang muslim ditanya didalam kubur nanti, maka ia bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak di ibadahi (dengan benar) kecuali Allah, dan sesungguhnya Muhammad adalah utusan Allah. Maka itulah firman Allah subhanahu wa ta’ala: “Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh itu didalam kehidupan didunia dan diakherat.” 

(HR. Al-Bukhari no. 4699. Fathul Baari VIII/229). Diriwayatkan pula oleh Muslim no. 2871, Abu Daud no. 4750, dan at-Tirmidzi no. 3120)

Pelajaran penting yang dapat kita ambil dari ayat diatas ialah bahwa segala yang kita lakukan di dunia akan memperoleh balasan kelak di hari kiamat. Dalam masalah ekonomi, ayat ini dapat kita kaitkan dengan prilaku kita dalam mencrari rizki, memberikan kita pemahaman bahwa dalam berekonomipun kita harus melaksanakannya dengan baik. Sesuai dengan tuntutan agama kita. Agar perekonomian ataau produksi yang kita jalankan mendapatakan ridha dan balasan yang baik kelak di hari kiamat.






F.      Prinsip produksi dalam Islam
Dalam perspektif Islam, produksi yaitu suatu usaha untuk menghasilkan dan menambah nilai guna dari suatu barang baik dari sisi fisik materialnya maupun dari sisi moralitasnya, sebagai sarana untuk mencapai tujuan hidup manusia sebagaimana digariskan dalam agama Islam, yaitu mencapai kesejahteraan dunia dan akhirat.
Adapun prinsip-prinsip dalam produksi itu sendiri adalah :
1. Berproduksi dalam lingkaran halal
Rasulullah Saw bersabda: “wahai manusia, bertaqwalah pada Allah, berbuatlah yang indah dalam mencari rezeki, sesungguhnya setiap orang tidak akan mati sampai dicukupi rezekinya sekalipun terlambat, maka bertaqwalah pada Allah, berbuatlah yang indah dalam mencari rezeki, ambil yang halal jauhi yang haram” (HR.Ibnu Majah)
Berdasarkan hadits diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa manusia dianjurkan untuk menjauhi hal yang haram dan melakukan sesuatu yang halal dalam Islam. Dalam berproduksi, tidak semua komoditas dapat diproduksi. Karena barang yang dihasilkan produksi tersebut haruslah memberikan manfaat yang baik, tidak membahayakan konsumen dan baik dalam semua aspek, baik kesehatan dan moral.
2. Kesadaran manusia sebagai khalifah
Manusia adalah sebagai khalifah dimuka bumi yang diberi amanat untuk menjaga kemakmuran bumi. Oleh karena itu dalam kegiatan produksi manusia diharapkan dapat memanfaatkan isi bumi dan senantiasa ingat pada anugerah Allah Swt.karena nantinya amanah tersebut akan dimintai pertanggungjawabannya.
3. Pengoptimalan fungsi indera dan akal
Manusia telah dikaruniai kesempurnaan berupa indera dan akal sehingga memungkinkannya untuk memanfaatkan kekayaan alam untuk berproduksi. Dengan modal indera dan akal tersebut manusia dapat meningkatkan potensinya untuk mencapai tingkat penghidupan yang lebih baik.
4. Pemberdayaan sumber daya produksi
Alam merupakan faktor produksi yang sangat diperhatikan dalam Al-Qur’an juga Al-Hadits, khususnya dalam pemberdayaannya. Sangat dianjurkan pemberdayaan yang baik dan bertanggung jawab atas sumber daya alam. Karena pemanfaatan yang baik, akan berdampak keadilan bagi masyarakat. Hal ini terjadi karena alam tidak di eksploitasi hanya untuk kepentingan segelintir orang saja, namun juga untuk kepentingan orang banyak. Karena seluruh kekayaan alam yang terkandung dibumi memang Allah ciptakan untuk kemaslahatan manusia.
5. Adanya keseimbangan antara aktivitas untuk dunia dan akhirat
Dengan produksi manusia menghasilkan barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhannya, maupun jasi amal yang semata-mata untuk mencapai keridhoan Allah Swt. Jadi selain dengan produksi manusia bisa memenuhi kebutuhan hidupnya, produksi diartikan sebuah ibadah kepada Allah Swt.
6. Aktifitas produksi dilandasi oleh akhlak
Akhlak harus mendasari bagi seluruh aktivitas ekonomi, termasuk aktivitas ekonomi produksi. Menurut Qardhawi, dikatakan bahwa,”Akhlak merupakan hal yang utama dalam produksi yang wajib diperhatikan kaum muslimin, baik secara individu maupun secara bersama-sama, yaitu bekerja pada bidang yang yang dihalalkan oleh Allah, dan tidak melampaui apa yang diharamkan-Nya.” Meskipun ruang lingkup yang halal itu luas, akan tetapi sebagain besar manusia sering dikalahkan oleh ketamakan dan kerakusan. Mereka tidak merasa cukup dengan yang sedikit dan tidak merasa kenyang dengan yang banyak. Hal ini dikatakan sebagai perbuatan yang melampaui batas, yang demikian inilah termasuk kategori orang-orang yang zalim.






PENUTUP

A.    Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan di atas kita dapat mengambil pembelajaran dalam berproduksi, bagwa berproduksi dalam islam tidak hanya didasarkan pada tujuan untuk mencari keuntungan semata akan tetapi, dalam Islam produksi diatur juga untuk menciptakan kesejahteraan bagi seluruh lapisan masyarakat. Dengan kata lain, produksi tidak hanya untuk kepentingan pribadi akan tetapi lebih kepada bagaimana menciptakan masyarakat yang sejahtera dan terpenuhi segala kebutuhannya. Oleh karena itu, produksi khususnya dalam Al-Qur’an di sebut sebagai bentuk pekerjaan atau usaha manusia dalam mencari fadilah atau rizki dari Allah swt dihukum sebagai sesuatu yang wajib di lakukan bagi setiap manusia. Sehingga tidak hanya bernilai dunia akan tetapi dapat memiliki nilai akhirat.

















DAFTAR PUSTAKA
1.      Bahrun, Abu Bakar, 2006, Tafsir Jalalain berikut Asbabun Nuzul Ayat, Bandung, Sinar baru Algensindo
2.      M. Quraish Shihab, 2003, Tafsir Al Misbah, pesan, kesan dan keserasian al-Qur’an, Tanggerang, Lentera Hati.
3.      Salaim Bahraesy, 2005, Terjemahan Singkat Tafsir Ibnu Katsir, Surabaya, Bina Ilmu.
4.      http:// www.tafsir.web.id/2013/04/.


Comments

Popular posts from this blog

jalan damai untuk Indonesia kita bersama

Produk Giro dalam Bank Syariah