prinsip produksi dalam Al Qur'an
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Produksi, distribusi, dan konsumsi sesungguhnya
merupakan satu rangkaian kegitan ekonomi yang tidak bisa di pisahkan. Ketiganya
memang saling memengaruhi, namun harus diakui produksi merupakan titik pangkal
dari kegiatan itu. Tidak akan ada distribusi tanpa produksi.
Pada prinsipnya islam lebih menekankan berproduksi demi untuk memenuhi
kebutuhan orang banyak, bukan hanya sekedar memenuhi segelintir orang yang
memiliki uang, sehingga memiliki daya beli yang lebih baik. Karena itu bagi
islam, produksi yang surplus dan berkembang baik secara kuantitatif maupun
kualitatif tidak dengan sendirinya mengindikasikan kesejahteraan bagi
masyarakat.
Kegiatan produksi dan konsumsi merupakan sebuah
mata rantai yang saling berkait satu dengan lainnya. Kegiatan produksi harus
sepenuhnya sejalan dengan kegiatan konsumsi. Tujuan kegiatan produksi adalah
suatu kegiatan yang menyediakan barang dan jasa yang memberikan mashlahah meksimum
bagi konsumen yang diwujudkan dalam pemenuhan kebutuhan manusia pada tingkatan
moderat, menemukan kebutuhan masyrakat dan pemenuhannya, menyediakan persediaan
barang/jasa dimasa depan serta memenuhi sarana bagi kegiatan sosial dan ibadah
kepada Allah swt.
B.
Rumusan Maslah
1.
Surat Al
Baqarah ayat 198
2.
Surat As syura’
ayat 10.
3.
Surat Al
Adiayat ayat 6.
4.
Surat Ar Rum
ayat 23.
5.
Surat Ibrahim
ayat 27.
6.
Prinsip-prinsip
produksi dalam Islam.
DAFTAR ISI
1.
Surat Al
Baqarah ayat 198……………………………………………………………… 5
2.
Surat As syura’
ayat 10………………………………………………………...……….. 6
3.
Surat Al
Adiayat ayat 6………………………………………………………………… 7
4.
Surat Ar Rum
ayat 23…………………………………………………...……………… 8
5.
Surat Ibrahim
ayat 27………………………………………………………………….. 10
6.
Prinsip-prinsip
produksi dalam Islam………………………………………….………. 11
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Surat Al
Baqarah ayat 198.
لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَبْتَغُوْا فَضْلاً مِّنْ
رَّبِّكُمْ فَإِذَا أَفَضْتُمْ مِنْ عَرَفَاتٍ فَاذْكُرُوْا اللهَ عِنْدَ
الْمَشْعَرِ الْحَرَامِ وَاذْكُرُوْهُ كَمَا هَدَاكُمْ وَإِنْ كُنْتُمْ مِنْ
قَبْلِهِ لَمِنَ الضَّالِّيْنَ (١٩٨)
“Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia
(rezki hasil perniagaan) dari Tuhanmu. Maka apabila kalian telah bertolak dari
Arafah, berzikirlah kepada Allah di Masy’aril Haram. Dan berzikirlah (dengan
menyebut nama)-Nya sebagaimana yang Dia tunjukkan kepadamu; dan sesungguhnya
kalian sebelum itu benar-benar termasuk orang-orang sesat”.
1)
(Apa yang dimaksud dengan: laysa
‘alaykum junāhun an tabtaghūfadl’lan min rabbikum, tidak ada
dosa bagimu untuk mencari karunia (rezki hasil perniagaan) dari Tuhanmu?)
Pertama,
disebutkan bahwa setelah pelaksanaan haji diperbaharui syariatnya oleh Islam
ingat: sebelum Islam datang prosesi tahunan haji sudah ada kendati diwarnai
dengan penyembahan terhadap berhala-berhala banyak yang merasa keberatan untuk
memanfaatkan musim ibadah kolosal itu untuk melakukan perniagaan sehingga
pasar-pasar sontak sepi. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas ra. bahwasanya: ”Ukazh,
Majannah dan Dzul Majaz adalah nama-nama pasar di zaman Jahiliyah. Ketika Islam
datang mereka seakan-akan merasa berdosa bila tetap berdagang di pasar-pasar
tersebut. Maka turunlah Surat al-Baqarah ayat 198 ini.” (Shahih Bukhari).
Jadi ayat ini turun untuk memberikan semacam justifikasi bahwa berdagang itu
pada dasarnya ialah mencari karunia Allah sehingga tidak ada alasan untuk
melarangnya.
Kata فَضْلًا (fadl’lan) sebetulnya
selain bermakna “karunia” juga bermakna “kemuliaan” atau “keutamaan”. Bisa
dirumuskan bahwa perniagaan itu adalah salah satu bentuk pencarian karunia dari
Allah yang tujuannya untuk mendatangkan “kemuliaan” dan “keutamaan” bagi
pelakunya. Sehingga, selain sekaitan dengan pelaksanaan ibadah haji, penggalan
ayat ini juga menjadi pernyataan umum tentang utama dan mulianya profesi
berniaga.
Setelah itu,
(fa idzā afadltum min ‘arafātin fadzkurūl-lāɦa
‘indal-masy’aril-harāmi, maka apabila kalian telah bertolak
dari Arafah, berzikirlah kepada Allah di Masy’aril Haram). Masy’aril Haram
ialah sebuah perbukitan luas di Muzdalifah. Di masyarakat, nama Muzdalifah
lebih populer daripada Masy’aril Haram. Berdasarkan penggalan ayat ini, yang
harus diperbanyak di tempat ini ialah berzikir kepada Allah, tetapi yang
terkenal oleh sebagian besar jamaah haji hanya mengumpulkan batu-batu kecil
yang akan digunakan sebagai ‘peluru’ untuk bertempur melawan setan di Jamarat.
Itu betul, tapi jangan lupa bahwa amunisi paling handal mnggempur pertahanan
setan ialah berzikir kepada Allah, dengan menyebut-sebut nama-Nya.
Pada kata: (wadzkurūɦu
kamā ɦadākum),dan berzikirlah (dengan menyebut nama)-Nya
sebagaimana yang Dia tunjukkan kepadamu]. Coba cermati penggalan ayat ini
dengan nanar! Rahasianya ada pada frasa كَمَا هَدَاكُمْ (kamā ɦadākum,sebagaimana
yang Dia tunjukkan kepadamu). Menurut konteks ayat, ungkapan ini bisa bermakna
“sebagaimana manasik haji yang telah Allah ajarkan kepada kalian”.
Sementara menurut pengertiannya yang paling umum, “berzikirlah kepada Allah
sebagaimana petunjuk zikir yang telah Dia ajarkan kepada kalian”. Lalu
bagaimana gerangan berzikir berdasarkan petunjuk yang benar
itu? Firman-Nya: “Serulah Tuhanmu dengan rendah hati dan suara yang lembut.
(Karena) sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.”
Jadi, berdasarkan ayat ini, tidak bisa dikatakan zikir atau seruan kepada Allah
manakala penyebutan nama Allah itu dilakukan dengan “arogan, amarah, dan
semena-mena” kepada pihak lain. Pada hakikatnya, perbuatan seperti itu bukanlah
zikir atau seruan kepada Allah tapi kepada setan; karena mereka telah menjadi
bala tentara setan. Dan setan pulalah yang tujuan hidupnya menipu manusia
dengan cara menimbulkan permusuhan di antara mereka.
Sebelum Allah
mengajarkan petunjuk zikir yang benar itu, manusia sungguh hidup dalam
kesesatan: (wa in kuntum min qabliɦi laminadl-dlāllīn, dan
sungguh kalian sebelum itu benar-benar termasuk orang-orang sesat).
Pernyataan Allah ini menarik untuk ditelusuri. Bukankah sebelum Islam datang,
orang-orang Arab dan kaum yang serumpun dengannya, sudah menyebut Tuhan yang
menciptakan alam semesta ini dengan sebutan “Allah”? Ini mendapat pengakuan
dari Alquran. Sebagimana firmanNya dalam al-Qur’an yang artinya: Dan sungguh
jika kamu tanyakan kepada mereka: ‘Siapakah yang menciptakan langit dan bumi
dan menundukkan matahari dan bulan?’ Tentu mereka akan menjawab: ‘Allah’, maka
betapakah mereka (dapat) dipalingkan (dari jalan yang benar).
B.
Surah Asyura’ ayat 10:
وَمَا اخْتَلَفْتُمْ
فِيهِ مِنْ شَيْءٍ فَحُكْمُهُ إِلَى اللَّهِ ذَلِكُمُ اللَّهُ رَبِّي عَلَيْهِ
تَوَكَّلْتُ وَإِلَيْهِ أُنِيبُ
Tentang sesuatu apapun kamu berselisih, maka putusannya
(terserah) kepada Allah.(Yang mempunyai sifat-sifat demikian) itulah Allah
Rabbku. Kepada-Nyalah aku bertawakkal dan kepada-Nyalah aku kembali.
Ayat tersebut menjelaskan tentang sesuatu
apapun kamu berselisih di jelaskan bahwa masalah pokok maupun maupun masalah
cabang yang kamu tidak bersepakat, dikembalikan kepada kitab Allah dan sunnah
Rasul-Nya, yang dihukuminya adalah hak dan yang menyelisihinya adalah batil.
Mafhum ayat ini adalah bahwa kesepakatan umat merupakan hujjah yang qath’i
(pasti), karena Allah tidak memerintahkan kita mengembalikan kepada-Nya kecuali
jika kita berselisih, sehingga dalam hal yang kita sepakati, maka sudah cukup
dengan kesepakatan umat, dan bahwa ia terpelihara dari kesalahan. Namun
demikian, kesepakatannya harus sesuai dengan yang ada dalam kitabullah dan
sunnah Rasul-Nya. Ada pula yang menafsirkan, bahwa apa pun yang kamu
perselisihkan dengan orang kafir, maka keputusan-Nya diserahkan kepada Allah
pada hari Kiamat, yakni Dia akan memutuskannya di antara kamu pada hari itu,
oleh karena Allah adalah Ar Rabb; Pencipta, Pemberi rezeki, dan pengatur, maka
Allah pula yang memberikan keputusan di antara hamba-hamba-Nya dengan keputusan
qadari-Nya, syar’i-Nya dan jaza’I (pembalasan)-Nya.
Dan pada ari ayat yang mengatakan bahwa “kepada
Nya aku bertawakkal” maksudnya: aku
bersandar kepada-Nya dalam mendatangkan manfaat dan menolak madharat serta
percaya kepada-Nya bahwa Dia akan memberikan pertolongan. Yakni
menghadap, baik dengan hatiku maupun badanku serta taat dan beribadah
kepada-Nya. Syaikh As Sa’diy berkata, “Kedua hal ini merupakan dasar yang
sering disebut Allah dalam kitab-Nya, karena dengan berkumpulnya keduanya
tercapailah kesempurnaan pada seorang hamba, dan kesempurnaan itu akan hilang
ketika keduanya hilang atau salah satunya sebagaimana firman Allah swt yang
artinya “Hanya kepada Mu kami menyembah dan hanya kepada Mu kami memohon.
C.
Surat Al-Adiyat ayat 6
إِنَّ
الْإِنسَانَ لِرَبِّهِ لَكَنُودٌ
“Sesungguhnya
manusia tidak bersyukur kepada Tuhannya!”
Kecenderungan
yang paling lazim pada manusia adalah kunud, yang berarti
'tidak ada rasa syukur'. Manusia mengingkari rahmat, kasih sayang, dan nikmat
Allah. Itu memang sifatnya karena dalam dirinya ada benih ketidak-bergantungan
yang menggemakan sifat Allah, Yang Sama Sekali Tidak Bergantung. Dalam
kesombongannya manusia menganggap dirinya independen, suatu pemikiran yang
sesat mengenai aspek Ilahiah.
Pada ayat di
atas Allah bersumpah untuk meyakinkan para pendengarnya tentang hakikat keugian
besar yang pasti akan di hadapi oleh mereka yang di lukiskan oleh ayat di atas.
Kerugian tersebut baru akan di sadari setelah terjadi dan tidak dapat di
perbaiki lagi, persisi seperti serangan mendadak seperti pada firman Allah swt.
Dalam firmannya Allah menjelaskan bahwa siapa yang merugi dan celaka orang itu
dengan menyatakan bahwa: Sesungguhnya jenis manusia secara umum khususnya
terhadap Tuhan pemelihara yang selalu berbuat baik kepadanya sangat ingkar,
sehingga tidak bersyukur kepada Allah swt.
Kata kanuud
adalah bentuk kata dari kanada, yang artinya tanah yang tandus dan kemudian maknanya berkembang menjadi durhaka.
Dalam ayat ini Rasul bersabda: “Taukah
kalian, apa yang di maksud dengan Al-Kanud?”. Para sahabat menjawab: “allah
dan Rasulnya lebih mengetahui.”
D.
Surat Ar-Rum ayat 23
وَمِنْ آيَاتِهِ مَنَامُكُمْ بِاللَّيْلِ وَالنَّهَارِ وَابْتِغَاؤُكُمْ مِنْ فَضْلِهِ إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَسْمَعُونَ
Dan
di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah tidurmu di waktu malam dan siang hari
dan usahamu mencari sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian
itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang mendengarkan.
Ayat
ini masih membicarakan tentang tanda-tanda kekuasaan dan kebesaran Allah, alam
semesta dan hubungannya dengan keadaan manusia, pergantian siang dan malam,
serta tidurnya manusia di malam hari dan bangunnya mencari rezki di siang hari.
Manusia tidur di malam hari agar badannya mendapatkan ketenangan dan istirahat,
untuk memulihkan tenaga-tenaga yang digunakan waktu bangunnya. Tidur dan bangun
itu silih berganti dalam kehidupan manusia, seperti silih bergantinya siang dan
malam di alam semesta ini. Dengan keadaan yang silih berganti itu seperti tidur
dan bangun bagi manusia, dia akan mengetahui nikmat Allah serta kebaikan-Nya.
Di waktu tidur manusia akan mendapatkan makanan yang baik bagi organ tubuhnya.
Begitu juga dia akan mendapatkan di waktu bangun pergerakan anggota tubuhnya
dengan leluasa.
Dalam
ayat ini tidur didahulukan dari bangun, padahal kelihatannya bangun itu lebih
penting dari pada tidur, karena di waktu bangun itu orang bekerja, berusaha dan
melaksanakan tugas. Tugas dan kewajibannya dalam hidup, yang terkandung dalam
perkataan-Nya, "dan usahamu mencari sebagian dari karunia-Nya", agar
nikmat tidur itu diperhatikan. Pada umumnya manusia itu sedikit sekali yang
memperhatikannya. Tidur merupakan pengasingan manusia dari kesibukan-kesibukan
hidup, dan terputusnya hubungan antara jiwanya dengan Zatnya sendiri,
seakan-akan identitasnya hilang di waktu itu. Dari segi inilah kebanyakan
manusia memandang tidur itu sebagai suatu hal yang tidak penting. Ini adalah
pengertian yang sudah salah dalam memahami nikmat yang besar itu yang
dianugeratikan Tuhan kepada manusia.
Dalam keadaan tidur dan dalam keadaan antara bangun dan tidur, manusia pergi kemana saja yang ia sukai dengan akal dan rohnya ke balik alam materi ini di sana tak ada belenggu dan halangan. Dan di sana dia dapat merealisir apa yang tak dapat direalisirnya di dalam dunia serba benda ini. Dalam alam mimpi itu dia akan mendapat kepuasan.
Berapa banyak orang yang miskin, tapi dalam mimpinya ia dapat memakan apa yang diingininya. Berapa banyak orang yang teraniaya tapi dalam mimpinya ia dapat mengobati jiwanya dari keganasan dan kelaliman. Berapa banyaknya orang-orang yang bercinta-cintaan serta berjauhan tempat tinggal, tetapi dalam mimpi mereka dapat berjumpa dengan sepuas hatinya. Dan banyak lagi contoh lain.
Menurut ahli ilmu jiwa, mimpi yang dialami dalam waktu tidur
adalah sebagai penetralisir yakni pemurni dan penawar bagi jiwa. Bagi
orang-orang yang sedang bercinta-cintaan umpamanya, mereka dapat mewujudkan apa
yang diingininya atau dikhayalkannya di waktu bangun. Demikian pula halnya
dengan orang-orang yang teraniaya, orang yang lapar dan sebagainya. Dengan
situasi itu jiwa akan lega dan tenteram.
Kalau tidak demikian tentu akan terjadi ketegangan-ketegangan
jiwa yang sangat berbahaya. Jadi dalam dunia tidur manusia akan mendapat
kepuasan akal, rohani dan jiwanya. Hal mana tak dapat diperolehnya di waktu
bangun.
Apabila tubuh manusia memerlukan makan dan minum, maka roh,
jiwa dan akalpun memerlukan makan dan minum. Makan dan minumnya itu
dilakukannya di waktu tidur. Tidur itu tidak lain, melainkan belenggu dari
tubuh tetapi kebebasan bagi jiwa. Dengan demikian segi kejiwaan mendapat
kebahagiaannya di waktu tidur, bebas dari kebendaan, tekanan dan kelaliman.
Kalau tidak demikian, roh itu akan selalu terbelenggu dalam tubuh dan cahayanya
akan pudar.
E.
Surat Ibrahim ayat 27
يُثَبِّتُ
اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا بِالْقَوْلِ الثَّابِتِ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا
وَفِي الآخِرَةِ وَيُضِلُّ اللَّهُ الظَّالِمِينَ وَيَفْعَلُ اللَّهُ مَا يَشَاءُ
“Allah meneguhkan (iman)
orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh itu didalam kehidupan di
dunia dan di akherat, dan Allah menyesatkan orang-orang yang zhalim dan berbuat
apa yang Dia kehendaki.” (Qs. Ibrahim : 27)
Dalam hal ini, Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:
“Apabila seorang muslim
ditanya didalam kubur nanti, maka ia bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang
berhak di ibadahi (dengan benar) kecuali Allah, dan sesungguhnya Muhammad
adalah utusan Allah. Maka itulah firman Allah subhanahu wa ta’ala: “Allah
meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh itu didalam
kehidupan didunia dan diakherat.”
(HR. Al-Bukhari no. 4699.
Fathul Baari VIII/229). Diriwayatkan pula oleh Muslim no. 2871, Abu Daud no.
4750, dan at-Tirmidzi no. 3120)
Pelajaran
penting yang dapat kita ambil dari ayat diatas ialah bahwa segala yang kita
lakukan di dunia akan memperoleh balasan kelak di hari kiamat. Dalam masalah
ekonomi, ayat ini dapat kita kaitkan dengan prilaku kita dalam mencrari rizki,
memberikan kita pemahaman bahwa dalam berekonomipun kita harus melaksanakannya
dengan baik. Sesuai dengan tuntutan agama kita. Agar perekonomian ataau
produksi yang kita jalankan mendapatakan ridha dan balasan yang baik kelak di
hari kiamat.
F.
Prinsip produksi dalam Islam
Dalam
perspektif Islam, produksi yaitu suatu usaha untuk menghasilkan dan menambah
nilai guna dari suatu barang baik dari sisi fisik materialnya maupun dari sisi
moralitasnya, sebagai sarana untuk mencapai tujuan hidup manusia sebagaimana
digariskan dalam agama Islam, yaitu mencapai kesejahteraan dunia dan akhirat.
Adapun
prinsip-prinsip dalam produksi itu sendiri adalah :
1. Berproduksi dalam lingkaran halal
Rasulullah Saw
bersabda: “wahai manusia, bertaqwalah pada Allah, berbuatlah yang indah dalam
mencari rezeki, sesungguhnya setiap orang tidak akan mati sampai dicukupi
rezekinya sekalipun terlambat, maka bertaqwalah pada Allah, berbuatlah yang
indah dalam mencari rezeki, ambil yang halal jauhi yang haram” (HR.Ibnu
Majah)
Berdasarkan
hadits diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa manusia dianjurkan untuk menjauhi
hal yang haram dan melakukan sesuatu yang halal dalam Islam. Dalam berproduksi,
tidak semua komoditas dapat diproduksi. Karena barang yang dihasilkan produksi
tersebut haruslah memberikan manfaat yang baik, tidak membahayakan konsumen dan
baik dalam semua aspek, baik kesehatan dan moral.
2. Kesadaran manusia sebagai khalifah
Manusia
adalah sebagai khalifah dimuka bumi yang diberi amanat untuk menjaga kemakmuran
bumi. Oleh karena itu dalam kegiatan produksi manusia diharapkan dapat
memanfaatkan isi bumi dan senantiasa ingat pada anugerah Allah Swt.karena
nantinya amanah tersebut akan dimintai pertanggungjawabannya.
3. Pengoptimalan fungsi indera dan akal
Manusia
telah dikaruniai kesempurnaan berupa indera dan akal sehingga memungkinkannya
untuk memanfaatkan kekayaan alam untuk berproduksi. Dengan modal indera dan
akal tersebut manusia dapat meningkatkan potensinya untuk mencapai tingkat
penghidupan yang lebih baik.
4. Pemberdayaan sumber daya produksi
Alam
merupakan faktor produksi yang sangat diperhatikan dalam Al-Qur’an juga
Al-Hadits, khususnya dalam pemberdayaannya. Sangat dianjurkan pemberdayaan yang
baik dan bertanggung jawab atas sumber daya alam. Karena pemanfaatan yang baik,
akan berdampak keadilan bagi masyarakat. Hal ini terjadi karena alam tidak di
eksploitasi hanya untuk kepentingan segelintir orang saja, namun juga untuk
kepentingan orang banyak. Karena seluruh kekayaan alam yang terkandung dibumi
memang Allah ciptakan untuk kemaslahatan manusia.
5. Adanya keseimbangan antara aktivitas untuk
dunia dan akhirat
Dengan
produksi manusia menghasilkan barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhannya,
maupun jasi amal yang semata-mata untuk mencapai keridhoan Allah Swt. Jadi
selain dengan produksi manusia bisa memenuhi kebutuhan hidupnya, produksi
diartikan sebuah ibadah kepada Allah Swt.
6. Aktifitas produksi dilandasi oleh akhlak
Akhlak harus mendasari bagi seluruh aktivitas
ekonomi, termasuk aktivitas ekonomi produksi. Menurut Qardhawi, dikatakan
bahwa,”Akhlak merupakan hal yang utama dalam produksi yang wajib
diperhatikan kaum muslimin, baik secara individu maupun secara bersama-sama,
yaitu bekerja pada bidang yang yang dihalalkan oleh Allah, dan tidak melampaui
apa yang diharamkan-Nya.” Meskipun ruang lingkup yang halal itu luas, akan
tetapi sebagain besar manusia sering dikalahkan oleh ketamakan dan kerakusan.
Mereka tidak merasa cukup dengan yang sedikit dan tidak merasa kenyang dengan
yang banyak. Hal ini dikatakan sebagai perbuatan yang melampaui batas, yang
demikian inilah termasuk kategori orang-orang yang zalim.
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan di atas kita dapat mengambil pembelajaran
dalam berproduksi, bagwa berproduksi dalam islam tidak hanya didasarkan pada tujuan
untuk mencari keuntungan semata akan tetapi, dalam Islam produksi diatur juga
untuk menciptakan kesejahteraan bagi seluruh lapisan masyarakat. Dengan kata
lain, produksi tidak hanya untuk kepentingan pribadi akan tetapi lebih kepada
bagaimana menciptakan masyarakat yang sejahtera dan terpenuhi segala
kebutuhannya. Oleh karena itu, produksi khususnya dalam Al-Qur’an di sebut
sebagai bentuk pekerjaan atau usaha manusia dalam mencari fadilah atau rizki
dari Allah swt dihukum sebagai sesuatu yang wajib di lakukan bagi setiap
manusia. Sehingga tidak hanya bernilai dunia akan tetapi dapat memiliki nilai
akhirat.
DAFTAR
PUSTAKA
1.
Bahrun, Abu
Bakar, 2006, Tafsir Jalalain berikut Asbabun Nuzul Ayat, Bandung, Sinar
baru Algensindo
2.
M. Quraish
Shihab, 2003, Tafsir Al Misbah, pesan, kesan dan keserasian al-Qur’an,
Tanggerang, Lentera Hati.
3.
Salaim
Bahraesy, 2005, Terjemahan Singkat Tafsir Ibnu Katsir, Surabaya, Bina
Ilmu.
4.
http://
www.tafsir.web.id/2013/04/.
Comments