Makalah Redominasi Dan Sanering Mata Uang



MAKALAH TEORI EKONOMI MAKRO ISLAM
“REDONOMINASI DAN SANERING MATA UANG”


   
DISUSUN OLEH::
KELOMPOK V
1.     MUSLIHATUN SURIANI
2.     AHMAD
3.     MASARI DEWI NURSASIH
EKONOMI SYARI’AH – KEUANGAN
FAKULTAS SYARI’AH DAN EKONOMI ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) MATARAM
2014/2015








            PENDAHULUAN
1.1.Latar belakang
Studi ini berangkat dari nilai-nilai filosofis mata uang sebagai darah dan salah satu
alat tukar bagi perekonomian modern, serta merupakan unit moneter nasional dari suatu negara atau sekelompok negara.
      Mata uang di era modern memiliki nilai dikarenakan diakui oleh pemerintahan suatu negara. Uang dapat dimanfaatkan sebagai penyimpan nilai jika nilai uang itu stabil. Karenanya, mata uang harus merupakan sesuatu yang benar dan sehat. Mata uang sehat, nilainya stabil apabila harga-harga barang yang dinyatakan dengan kesatuan uang tersebut pada umumnya tetap tidak mengalami perubahan yang berarti dalam waktu yang cukup lama. Sedangkan uang yang tidak sehat adalah uang yang nilainya seringkali turun dan tidak stabil. Uang yang tidak stabil sangat sukar untuk meningkatkan dan memperlebar produksi. Semakin tidak stabil uang itu semakin ia tidak bisa dijadikan pegangan produksi.

     
1.2.Rumusan masalah
1.      Bagaimanakah pengaruh redenominasi dan sanering mata uang terhadap perekonomian masyarakat di Indonesia?
2.      Bagaimana pandangan Islam terhadap redenominasi dan sanering mata uang?

PEMBAHASAN
  1. Pengertian redenominasi dan sanering
Penyederhanaan atau penyehatan nilai mata uang bukan sesuatu yang baru di dunia moneter. Ada dua cara penyederhanaan nilai mata uang yaitu redenominasi dan sanering. Redenominasi merupakan penyederhanaan nominal mata uang tanpa mengurangi nilai tukarnya, sebab selain nilai uangnya yang disederhanakan, pada saat yang sama juga terjadi penyesuaian harga barang. Sehingga tidak ada kerugian. Sebab, dengan nilai yang baru tetap dapat membeli barang yang sama. Sedangkan Sanering adalah memotong nilai tukar uang terhadap barang. Nilai uang berkurang tetapi harga barang tidak berkurang, sehingga dapat menurunkan daya beli masyarakat terhadap suatu barang.
Dalam redenominasi tersebut, BI berencana akan menghilangkan 3 digit dari nilai pecahan rupiah yang ada. Misalnya dari Rp1.000  menjadi Rp1. Harga barang yang semula Rp 1.000  juga berubah menjadi seharga Rp 1. Contohnya,  pada harga bawang putih 1 kilogram Rp.4000, dengan redenominasi tiga digit nolnya dihilangkan, maka harga bawang putih  menjadi Rp.4. Harga bawang putih tetap, hanya nominalnya saja yang disederhanakan. Daya beli uang yang dikenakan redenominasi pun tetap. Dengan uang Rp.4, masyarakat tetap dapat membeli 1 kilogram bawang putih.
Sedangkan dalam sanering, pemotongan uang belum tentu diikuti dengan harga barang. Misalnya harga bawang putih yang semula Rp 4000, tidak serta merta bisa menjadi Rp 4. Bisa jadi, harga barang tetap seperti harganya semula. Sementara nilai uang Rp 4000 di masyarakat, telah berubah menjadi Rp 4. Artinya, daya beli masyarakat akan menurun drastis dengan adanya sanering. Kita jadi tak mampu membeli bawang putih lagi.
Redenominasi dilakukan pada saat ekonomi stabil, sedang tumbuh positif dan tingkat inflasi terkendali, sementara sanering dilakukan dalam kondisi ekonomi yang tidak sehat dan inflasi yang melejit dan tidak terkendali. Sehingga daya beli mata uang merosot dengan cepat. Untuk mengatasinya, bukan harga barang yang diturunkan dengan menambah stok barang, melainkan nilai mata uang yang diturunkan. Perbedaan redenominasi dan sanering menurut Ihda Faiz, digambarkan dalam tabel berikut :

Perbedaan
Redenominasi   
 Sanering
Pengertian      
Penataan nominal mata uang                               
Pemotongan nilai mata uang      
Tujuan  
Penyederhanaan angka                                         
Mengurangi jumlah uang beredar
Dampak terhadap masyarakat
Tidak ada (kecuali penyesuaian kebiasaaan)         
Dirugikan karena daya beli uang turun      
Daya Beli Uang                  
Tetap
Turun
Syarat kondisi  
Kondisi makroekonomi stabil, ekonomi tumbuh    
Instabilitas makroekonomi, hiperinflasi      
Waktu pergantian                              
Perlu masa transisi yang terukur dan terkendali  
dilakukan secara mendesak

Dari tabel di atas tergambar adanya perbedaan, namun antara istilah redenominasi dan sanering seringkali memunculkan keresahan di tengah masyarakat. Karena pada prakteknya tidak selalu mulus, dan jika terjadi kegagalan dapat memunculkan gejolak di tengah masyarakat. Junanto Herdiawan mengibaratkan istilah redenominasi sebagai  istilah licin, karena ketidak mulusan penerapannya. Sebagai contoh, Turki menjadi negara yang berhasil melakukan redenominasi terhadap mata uangnya, dengan memperkenalkan New Turkish Lira. Namun di sisi lain, Korea Utara menjadi contoh negara yang masih mengalami masalah dengan redenominasi mata uang Won-nya, yang dilakukan pada Desember 2009 lalu. Pasar gelap bermunculan, dan masyarakat melarikan uangnya ke Yuan ataupun Dolar Amerika karena panik. Bahkan jika gagal memungkinkan untuk berubah menjadi sanering, seperti yang diungkapkan Deputi Gubernur BI, Budi Rochadi pada wartawan, Selasa (3/8) yang mengatakan, sebenarnya redenominasi sudah pernah dilakukan Indonesia pada tahun 1966. Namun karena saat itu inflasi di Indonesia sedang tinggi, maka redenominasi yang diberlakukan pemerintah justru gagal mengamankan perekonomian. Saat itu, uang Rp1.000 menjadi Rp1. Karena gagal, tahun itu juga BI sekaligus melakukan sanering, yakni melakukan pemotongan uang dimana yang dipotong hanya nilai uangnya saja. “Jadi kita sudah pernah redenominasi sekali dan sanering sekali. Waktu itu karena inflasi redenominasi gagal. Sekarang kita usulkan lagi wacana redenominasi karena inflasi kita sudah terkendali,” kata Budi.
Muhammad Iqbal menyebutkan bahwa salah satu cara untuk melihat perlu tidaknya redenominasi dilakukan adalah dengan mengukur daya beli uang fiat (uang kertas) terhadap suatu komoditi baku (atau sekelompok komoditi) yang nilainya stabil sepanjang masa, misalnya harga emas. Disebutkan pula bahwa redenominasi sebaiknya dilakukan pada saat harga emas melewati gridline tertentu yang dipandang sudah terlalu tinggi dalam mata uang yang bersangkutan. Bila persentuhan pada gridline ini bersamaan dengan situasi ekonomi dan inflasi yang stabil, maka namanya adalah redenominasi. Tetapi bila persentuhannya bersamaan dengan gonjang-ganjing ekonomi dan inflasi tinggi maka namanya adalah sanering.
  1. Alasan dan tujuan redenominasi
Bank Indonesia (BI) berencana melakukan redenominasi rupiah karena uang pecahan Indonesia yang terbesar saat ini Rp 100.000. Uang rupiah tersebut mempunyai pecahan terbesar kedua di dunia, terbesar pertama adalah mata uang Vietnam yang mencetak 500.000 Dong. Namun tidak memperhitungkan negara Zimbabwe, negara tersebut pernah mencetak 100 miliar dolar Zimbabwe dalam satu lembar mata uang. (detik finance, 07/ 08/ 2010). Jadi BI berencana untuk menyederhanakan angka nominal pada mata uang rupiah. Dengan penyederhanaan ini diharapkan akan lebih memudahkan dalam pencatatan akuntansi.
BI mengklaim bahwa sudah sejak lama, walaupun tidak formal, penyederhanaan ini sudah sering dilakukan di tengah masyarakat, misal dengan menyebut jumlah 1 juta menjadi seribu, 100 juta menjadi 100 ribu, jadi mengapa tidak di formalkan sekalian? Selain itu, langkah redenominasi ini dilakukan sebagai persiapan  menghadapi pemberlakuan mata uang bersama ASEAN, tahun 2015 (Ihda Faiz). Dengan penyebutan nominal yang ada, mata uang rupiah dianggap terlalu mencolok jika dibandingkan dengan nilai mata uang negara-negara ASEAN. Mata uang rupiah dianggap terlalu tambun, dan sulit untuk dieja.
Dengan nilai nominal yang ada Muhaimin Iqbal menggambarkan ”kepelitan” wisatawan asing dalam memberi tips atas kepuasan pelayanan yang diberikan di hotel-hotel. Tidak jarang tips yang mereka berikan hanya Rp.500 atau Rp.1000, seperti besar padahal nilainya kecil. Bahkan tidak jarang kembalian taxi yang hanya Rp.500 atau Rp.1000, sampai ditagih, oleh para waisatawan asing tersebut karena terlihat seolah bernilai besar.
            Oleh karena itu redenominasi dilakukan sebagai upaya untuk efisiensi penghitungan dalam sistem pembayaran.(Junanto Herdiawan, 03/ 08/ 2010) selain untuk menjadikan rupiah lebih setara (tidak harus sama nilainya tetapi tidak terlalu mencolok) dibanding mata uang negara lain, seperti negara-negara ASEAN, ataupun AS dengan mata uang dolarnya. (Muhammad Iqbal, Ihda Faiz)
Manfaat
  • Efisiensi sistem akuntansi, pencatatan transaksi keuangan
  • Secara psikologis rupiah lebih gagah
  • Tidak repot membawa banyak uang
  • Mengurangi pembulatan harga barang/jasa ke atas
  • Bisa menekan inflasi
  • Menyesuaikan dengan rencana mata uang tunggal ASEAN
  1. Plus-Minus Redenominasi
Ada beberapa keuntungan yang dapat diperoleh dari diterapkannya redenominasi di Indonesia, salah satunya ialah:
a)      Terciptanya efisiensi dan kenyamanan dalam melakukan transaksi. Meskipun memang hal ini tidak sepenuhnya berlaku bagi semua kalangan, namun bagi para pelaku bisnis, ekonom, dan juga akuntan, hal ini akan sangat memudahkan mereka dalam bertransaksi dan mencatatkan keuangan.
Seperti yang kita ketahui bersama, nilai/redenominasi yang ada pada rupiah saat ini (diwakili Rp100 ribu) merupakan pecahan terbesar ke-3 di dunia setelah Zimbabwe dengan 10 juta dolar Zimbabwenya dan Vietnam dengan 500 ribu dongnya. Pecahan mata uang yang terlalu besar akan membuat proses pembayaran dan transaksi tunai menjadi lebih sulit dan dinilai sangat tidak efisien dalam pencatatan laporan keuangan.
b)      Redenominasi pun dapat mengurangi hambatan dan kendala teknis berupa kemungkinan kesalahan manusia (human error) dalam proses pembukuan transaksi atau kegiatan statistik lainnya, yang mana semakin besar pecahan mata uangnya berarti semakin banyak jumlah digit yang digunakan, maka semakin besar pula resiko keteledoran seseorang dalam melakukan perhitungan.
c)      Selain itu, redenominasi juga dinilai dapat meningkatkan martabat bangsa. Dengan denominasi yang dimiliki seperti saat ini, rupiah dinilai kurang bergengsi jika dibandingkan mata uang negara regional lainnya seperti ringgit Malaysia, peso Filipina, dan baht Thailand. Maka, setelah dilakukannya redenominasi, diharapkan persepsi atau kepercayaan masyarakat terhadap rupiah dapat meningkat. Dengan demikian, rupiah dapat berfluktuasi dengan lebih stabil bahkan cenderung menguat di pasar uang antar bank. Sebagai informasi, pelemahan nilai tukar rupiah seringkali disebabkan oleh prilaku masyarakat yang lebih senang ‘memegang’ mata uang asing ketimbang rupiah dikarenakan tingkat kepercayaan pada rupiah yang rendah.
Di sisi lain, meskipun dikatakan memiliki banyak keuntungan, redenominasi sebetulnya berpotensi memicu terjadinya inflasi tinggi. Hal ini dikarenakan adanya kemungkinan pembulatan harga-harga ke atas yang dilakukan para pelaku pasar untuk kepentingan pribadi. Pembulatan harga suatu barang ke atas tentu akan mengakibatkan harga barang lainnya ikut melambung.
Perlu diingat, jika redenominasi jadi diterapkan sesuai yang diwacanakan (menghilangkan tiga angka nol) maka akan ada pecahan mata uang di bawah rupiah yang disebut sen yaitu 5 sen (dari Rp500), 2 sen (dari Rp200), dan 1 sen (dari Rp100). Pecahan sen ini tentu akan menjadi kerumitan tersendiri yang memungkinkan adanya spekulan (rent seeker) di tengah kepanikan pasar yang terjadi. Dan bukan tidak mungkin, dengan pemahaman yang tidak berimbang (imperfect foresight), masyarakat akan terpengaruh isu yang menjadikan rasionalitas mereka berkurang dan menganggap pecahan sen yang ada tidak berharga. Informasi yang tidak sempurna (asymmetric information) akan membuat resiko terjadinya hal-hal tersebut semakin besar dan akan berujung pada tidak kondusifnya perekonomian dan juga inflasi yang tinggi.
Untuk itu, mutlak diperlukannya sosialisasi yang panjang, berkualitas, dan juga intensif dari Pemerintah dan BI selaku otoritas moneter sampai masyarakat benar-benar memahami dan terbiasa dengan pecahan mata uang yang baru. Unsur-unsur lain di luar ekonomi seperti sosial, politik, dan psikologis (sospolgis) menjadi pertimbangan lain yang perlu diselaraskan. Jangan sampai Indonesia bernasib sama seperti Brazil, Rusia, Korea Utara, dan Zimbabwe karena mengabaikan ketiga hal tersebut dalam menerapkan redenominasi.
Pada akhirnya, keuntungan dari redenominasi hanya akan bersifat semu jika tak diiringi fundamentalnya. Dan jika redenominasi merupakan suatu keniscayaan, seharusnya ini tidak menjadi suatu hal yang perlu diresahkan. Trauma masa lalu mungkin sulit untuk dihilangkan, namun janganlah sampai trauma tersebut mengaburkan rasionalitas kita dalam memahami bahwasanya redenominasi bukanlah sanering.
  1. Apakah Redenominasi menyelesaikan masalah?
Adalah konsekuensi logis dari mata uang yang terus mengalami inflasi akan bertambah terus nol-nya dari waktu ke waktu. Untuk Rupiah, tiga angka nol yang pernah dibuang dengan susah payah tahun 1965/1966  melalui apa yang dikenal dengan Sanering Rupiah, tiga angka nol tersebut 32 tahun kemudian kembali memenuhi angka uang kita bahkan kembalinya cenderung tidak cukup tiga angka nol, melainkan malah  menjadi empat atau bahkan lima angka nol. Akibat dari bertambahnya angka nol terus menerus tersebut, secara berkala memang dibutuhkan otoritas yang berani mengambil keputusan untuk me-reset kembali agar angka-angka nol tersebut  kembali ke jumlah semula. (Muhaimin Iqbal, 2010)
Lalu mengapa dapat terjadi inflasi? Faktor penyebab inflasi bisa disebabkan oleh banyak hal yakni depresiasi rupiah, jumlah uang beredar, defisitnya APBN, maupun pemberian kredit perbankan yang konsumtif. (suara merdeka, 2005). Dari sisi jumlah uang yang beredar yang menyebabkan inflasi terjadi, disebabkan banyaknya uang kertas yang dicetak melebihi cadangan emas yang memback upnya. Bahkan setelah penghapusan Bretton woods agreement,  pencetakan uang kertas bisa tidak diback up emas, maka pencetakan uang kertas bergerak  liar. Utamanya pencetakan mata uang dolar AS.
Sejenak menyimak perkembangan alat tukar dunia, pada awalnya untuk memenuhi kebutuhan, manusia melakukan barter. Akan tetapi barter terlalu menyulitkan karena belum tentu barang yang dibutuhkan dapat ditukar dengan barang yang dimiliki, karena pemilik barang yang kita butuhkan belum tentu membutuhkan barang yang kita miliki. Misal, pemilik kurma yang hendak menukarnya dengan gandum, belum tentu pemilik gandum hendak menukarnya dengan kurma. Oleh karena itu diperlukan alat tukar.
Alat tukar yang kemudian dipakai bermacam-macam, namun semuanya berbasis logam yang memiliki nilai intrinsik di dalamnya, misal nya dinar Byzantium (solidos), dinar Yunani (Drachma), dirham Persia, dan qian (dari tembaga)  Cina. Mata uang dinar Romawi (Solidos)  menyebar ke Arab, termasuk kaum Quraisy ketika mereka pulang berdagang dari Wilayah Syam, dan mendapatkan dirham Persia ketika berdagang dengan Persia. Rasulullah mendiamkan penggunaan uang ini. Demikianlah mata uang tersebut digunakan hingga masa khalifah Umar bin Khathab yang mencetak dinar dan dirham, seperti dinar Byzantium dan dirham Persia dengan takaran yg sama, tetapi dibubuhi tulisan Bismillah dan Bismillahi Robbi. Abdul Malik bin Marwan yang kemudian mencetak dirham tahun 75/76 H dan dinar tahun 77 H yang dibubuhi teks islami. Sejak itulah kaum muslimin atau khilafah Islam memiliki mata uang sendiri, yang takarannya setara dengan dinar Byzantium dan dirham Persia, yakni dinar 4,25 gr emas dan dirham 2,975 gr perak, hingga masa keruntuhan khilafah tahun 1924 M.
Di Eropa setelah Romawi, mata uang yang digunakan tetap mata uang emas dan perak. Adapun di Cina, uang kertas sudah dicetak dan digunakan di Cina pada abad ke-9 M.  Uang kertas saat itu di-back up sepenuhnya dengan emas (uang kertas substitusi).  Artinya, sistem mata uang digunakan di dunia adalah mata uang emas dan perak atau berbasis emas dan perak.  Sistem ini terus berlanjut sampai tahun 1944 dalam perjanjian Bretton Wood, mata uang dunia disandarkan pada emas yang di-back up dengan emas meski tidak secara penuh.
Sistem mata uang emas baru ditinggalkan sejak Presiden AS, Richard Nixon, pada 15 Agustus 1971 mengumumkan dolar lepas dari sistem Bretton Woods.  Sejak itu sistem mata uang emas ditinggalkan total dan digantikan dengan sistem mata uang kertas yang sama sekali tidak di-back-up dengan emas dan atau perak.  Uang kertas jenis ini disebut fiat money dan digunakan di seluruh dunia hingga sekarang.  (Yahya Abdurahaman,2008). Inilah yang menyebabkan pencetakan uang kertas kemudian bergerak secara tidak terkendali, yang pada gilirannya dapat memunculkan inflasi, yang mana redenominasi ataupun sanering dianggap sebagai solusi.
            Redenominasi juga dapat menjadikan perbandingan dengan mata uang lain menjadi tidak terlalu mencolok seperti yang diusulkan Muhammad Iqbal. Dengan menyajikan data perbandingan harga emas, dalam rupiah dan dolar, dalam grafik logaritmik dimana jarak satu gridline yang satu dengan gridline dibawahnya adalah kelipatan 10 – atau merepresentasikan satu angka nol,  menurutnya  pada grafik US$ yang hanya melewati satu gridline sepanjang 40 tahun terakhir. Hal ini karena dalam US$ harga emas ‘hanya’ mengalami kenaikan 33 kali selama 40 tahun terakhir. Sebaliknya Rupiah menerobos 3 gridlines selama 40 tahun terakhir yaitu tahun 1973, 1980 dan 1998. Hal ini terjadi karena dalam rentang waktu 40 tahun yang sama harga emas dalam Rupiah mengalami kenaikan sampai 790 kalinya.
Maka negara-negara yang berhasil menekan inflasinya pada angka yang relatif rendah dalam waktu yang panjang akan semakin jarang menabrak gridline tersebut – negara semacam ini memang tidak memerlukan redenominasi pada mata uangnya. Tidak demikian halnya bagi negara yang rata-rata inflasinya tinggi, jumlah angka nol dalam mata uangnya (yang direpresentasikan dengan banyaknya gridlines yang ditabrak) akan terus bertambah sehingga apa bila dibiarkan terus akan menjadi tidak wajar. Mata uang dari negara semacam ini – termasuk diantaranya Rupiah kita – perlu diredenominasi dari waktu ke waktu.
Muhammad Iqbal mencontohkan skenario redenominasi jika dilakukan pada tahun  1983, yang mana harga emas pada saat itu  per gram dalam Rupiah adalah Rp 12.242/gram dan dalam Dollar  adalah US$ 13.64. Bila tiga angka nol dalam uang Rupiah dihilangkan saat itu, maka harga emas dalam Rupiah akan menjadi Rp 12.24/gram, sedangkan dalam Dollar akan tetap US$ 13.64. Artinya bila Rupiah diredominasi pada tahun 1983 dengan membuang tiga angka nol, maka nilai tukar Rupiah saat itu menjadi 1 US$  = Rp 0.90  ,-
Terlihatlah bahwa redenominasi seolah menjadi solusi atas kesenjangan nilai mata uang rupiah dengan mata uang lainnya. Dengan penggambaran perbandingan nilai rupiah dengan dolar yang tidak lagi terlalu jauh, seolah menggambarkan nilai rupiah yang menguat dan stabil, padahal penguatan tersebut adalah penguatan yang semu. Bukan penguatan yang menggambarkan kestabilan fundamen ekonomi. Yaitu penguatan yang  seharusnya didasarkan pada meningkatnya daya saing sektor riil yang meningkat sehingga memacu ekspor. Dari peningkatan ekspor inilah daya saing rupiah menguat.      
Redenominasi membutuhkan biaya yang besar untuk mencetak uang baru, untuk sosialisasi sampai pelosok negeri dan untuk penyediaan infrastruktur yang diperlukan. Sejauh ini kebijakan apapun yang ada di negeri ini hanya menyentuh level masyarakat menengah ke atas, yang hanya minoritas. Sementara mayoritas masyarakat Indonesia yang berada pada posisi ekonomi lemah, dengan taraf pendidikan yang rendah, yang tersebar hingga pelosok pulau yang terpencil masih sering terabaikan.
Tak bisa dipungkiri kebijakan redenominasi lebih mementingkan minoritas masyarakat dibandingkan mayoritas masyarakat. Sebab masyarakat menengah ke atas yang terbiasa bertransaksi dengan nominal besar dan seringkali tidak tunai akan terbantu dengan redenominasi ini. Namun bagi mereka yang miskin dan bertaraf pendidikan rendah yang sangat terbiasa dengan transaksi uang yang kecil, mereka tidak hanya kebingungan dengan nilai yang semakin kecil, tetapi juga akan semakin memiskinkan mereka, jika pemerintah tidak menyediakan pecahan yang sesuai.Karena mereka akan dipaksa bertransaksi dengan pecahan besar, sementara pecahan kecil pada mata uang lama yang selama ini mereka miliki tidak akan berlaku lagi.
Selain itu tetap rakyat dirugikan, sebab biaya pembangunan yang besar akan dipergunakan untuk biaya mencetak uang yang tidak memiliki keuntungan bagi sistem ekonomi Indonesia. Lalu jika pemerintah berusaha menerbitkan surat utang untuk menutupi biaya redenominasi, berarti rakyat juga yang akan menderita. Sebab, kembali rakyat harus menanggung utang yang sepertinya tidak pernah habis. Padahal setiap tahunnya negara ini selalu mengalami defisit anggaran yang selalu ditutup dengan utang luar negeri. Utang ini pun seringkali digunakan untuk program non produktif, yakni sektor non riil yang lebih menguntungkan  minoritas rakyat dibanding mayoritas.
Efek meningkatnya utang juga berimbas pada keterikatan pada negara asing pemberi utang. Tentu saja pendiktean kebijakan dari negara donor akan semakin gencar. Seperti kita ketahui sudah banyak UU produk pendiktean asing yang telah diluncurkan. Maka akan lebih banyak lagi kebijakan asing yang semakin mengikat negara ini, yang menjadikan negara ini semakin tidak berdaya.
Selain itu, Redenominasi juga berpotensi mendorong inflasi jika tidak ada kemudahan bertransaksi pada pecahan kecil. Sebab, pecahan yang kecil dan tanggung akan mendorong pembulatan angka untuk memudahkan pembayaran, yang justeru tanpa disadari akan memacu kenaikan harga barang. Menurut Hendri Saparini, bila ini terjadi secara meluas maka akan terjadi serangan inflasi secara diam-diam. Masyakat tidak menyadari, hanya merasakan bahwa daya beli mereka semakin lama semakin melemah.
Redenominasi juga akan memicu banjirnya barang-barang impor.Apalagi pada era pasar bebas ini, mengimpor barang menjadi tidak terkendali. Asalkan dianggap murah barang impor akan menerobos masuk. Hal ini disebabkan nilai konversi mata uang rupiah yang dianggap menguat terhadap mata uang lain semisal USD.
Walaupun pihak BI menyatakan masalah redenominasi ini baru sekedar wacana, namun tidak berarti masalah ini akan dibatalkan.Artinya kebijakan redenominasi ini sewaktu-waktu akan tetap diluncurkan jika pemerintah memandang situasinya sudah tepat. Padahal agenda perbaikan ekonomi lebih banyak lagi daripada sekedar mewacanakan redenominasi. Seperti peningkatan dukungan pemerintah terhadap sektor riil, yang akan memberi stimulus pada peningkatan ekspor. Sebab, selama ini pemerintah cenderung lebih memprioritaskan dukungan pada peningkatan sektor non riil. Padahal pertumbuhan ekonomi dan penguatan rupiah hanya akan terjadi dengan kuatnya sektor riil. Selain itu dengan rencana redenominasi, maka terjadi pengalihan dana pembangunan dipakai untuk kebijakan redenominasi.
Lebih dari itu, jika kebijakan redenominasi jadi diterapkan, akan menjadikan sistem kapitalisme akan senantiasa bercokol. Karena memang semuanya berawal dari diterapkannya sistem ekonomi kapitalisme. Oleh karena itu, jelaslah bahwa Kebijakan redenominasi rupiah ini sama sekali tidak akan menyelesaikan akar permasalahan sistem ekonomi di Indonesia. Sebab, akar permasalahan sebenarnya ada pada mata uang dan sistem ekonomi yang harus dirubah. Untuk itu pemerintah harus merubah dari dua aspek tersebut ke arah sistem ekonomi dan sistem mata uang yang benar yakni sistem ekonomi Islam dan sistem mata uang dinar dirham.
  1. Contoh  negara yang melakukan Redenominasi
Redenominasi Zimbabwe
Pada tanggal 1 Agustus 2006 pemerintah Zimbabwe mendevaluasi uangnya 60 % dan pada saat yang sama pemerintah juga melakukan redenominasi dengan menghilangkan tiga angka nol di belakang. Sebelumnya us$ 1 = zwd 101,000 menjadi us$ 1 = zwd 250. Setelah langkah ini dilakukan ternyata tidak sesuai dengan dugaan karena harga-harga barang dan jasa tidak mau mengikutinya sehingga terjadi inflasi besar-besaran. Pada tahun 2007 pemerintah sampai harus membuat peraturan yang aneh yaitu menyatakan bahwa inflasi adalah melanggar hukum negeri itu, artinya tidak boleh ada pihak yang menaikkan harga.
Beberapa eksekutif perusahaan harus masuk bui gara-gara menaikkan harga produknya. Artinya harga barang dipaksa harus mengikuti nilai fiat money (nilai semu) bukan mengikuti nilai komoditi (nilai riil). Langkah yang tidak biasa inipun tidak mempan juga, akhirnya terjadi lagi perubahan rate 11,900 % yaitu menjadi 1 US$ = ZWD 30,000 – ini angka resmi; angka tidak resminya ada di pasar gelap yaitu 1 US$ = ZWD 600,000.
Apakah dengan demikian uang kertas tersebut dapat diselamatkan? Tidak juga, per Juni 2008 Zimbabwe mengalami inflasi 9.030.000 %. Maka terjadilah redenominasi yang kedua dengan menghilangkan 6 angka di belakang (1.000.000 menjadi 1). Redenominasi yang kedua sama saja malah memicu inflasi ribuan persen. Otoritas moneter Zimbabwe tidak melakukan pemotongan atas fisik uangnya, tapi dengan mengeluarkan pecahan dalam nilai baru yang sudah disesuaikan dengan nilai redenominasi.
Harga-harga barang dan jasa tidak mengikuti nilai redenominasi itu sehingga dimana program yang ingin dijalankannya itu sebenarnya adalah redenominasi, tapi kenyataan yang terjadi di lapangan menjadi sanering. Satu pak kecil kopi produksi dalam negeri saat itu mencapai 1 miliar dolar Zimbabwe. Sepuluh tahun lalu, jumlah uang sebesar itu sudah dapat digunakan untuk membeli 60 mobil baru. Sejumlah industri manufaktur saat itu beroperasi dengan kapasitas 30%. Hal itu karena semakin banyak karyawan yang tidak dapat pergi ke lokasi kerja karena lonjakan ongkos bus yang tinggi.
Pemotongan enam digit nominal mata uang tak diikuti dengan penyesuaian harga berdasarkan nominal baru. Jadi, harga barang dari 1.000.000 bukan menjadi 1, tetapi menjadi 1000. Ini yang memicu inflasi besar-besaran di Zimbabwe. Banyak pihak juga akhirnya memilih menggunakan berbagai mata uang asing, akibatnya, hiperinflasi. Denominasi mata uang mengalami peningkatan, barisan angka nol pada mata uang semakin banyak. Tadinya ingin mengurangi angka nol malah tambah banyak.
Dolar Zimbabwe nyaris hilang nilainya baik dalam aktivitas komersil ataupun sebagai pendapatan. Saat itu, lebih banyak transaksi bisnis dilakukan dengan menggunakan dolar as, baik secara terbuka maupun tertutup. Ada juga orang yang mulai paham dengan menggunakan emas untuk membeli kebutuhan hidup sehari-hari sehingga tidak terkena dampak sanering. Bulan Juli 2008, bank sentral Zimbabwe menerbitkan mata uang senilai 100 miliar dolar Zimbabwe setelah inflasi mencapai 2.000.000 %. Padahal, tiga bulan sebelumnya, baru dicetak mata uang 50 juta dolar Zimbabwe. Ketika itu, 100 miliar dolar Zimbabwe hanya bisa membeli tiga butir telur. Kertas 500 juta dollar zimbabwe kalau dikonversi ke us dollar amerika cuma dihargai 2 dolar. Harga-harga melambung begitu cepat hanya dalam hitungan menit bahkan detik, tak heran jika karyawan toko-toko di zimbabwe begitu sibuk mengganti label harga jika terjadi perubahan harga.
Nilainya di pasar gelap hanya setimpal dengan 33 dolar us. Akhirnya pada Agustus 2008, dilakukan redenominasi yang ketiga kalinya yaitu pemangkasan 10 digit angka nol. Uang 10 miliar dolar menjadi 1 dolar. Karena lonjakan inflasi semakin menggila, pada Januari 2009 bank sentral negeri Afrika itu kembali mencetak rekor dengan menerbitkan mata uang berdenominasi terbesar sepanjang sejarah manusia, 100 triliun dolar. Februari 2009, bank sentral kembali melakukan redenominasi yang keempat kalinya dengan memangkas 12 digit angka nol. Mata uang 1 triliun dolar tinggal menjadi 1 dolar Zimbabwe. Pecahan mata uang terbesar hanya 500 dolar Zimbabwe.

  1. Sejarah sanering di Nusantara
19 Maret 1950
Pada tanggal 19 Maret 1950, sanering pertama kali dikenal dengan nama “gunting syafrudin” dimana uang kertas betul-betul digunting menjadi dua secara fisik dan nilainya. Dia memerintahkan agar seluruh ‘uang merah’ NICA (Nederlandsch Indië Civil Administratie) dan uang De Javasche Bank/DJB (bentukan penjajah belanda yang kemudian berubah nama menjadi BI/Bank Indonesia) yang bernilai Rp 5 ke atas digunting menjadi dua bagian. Gunting Syafruddin adalah kebijakan moneter yang ditetapkan oleh Syafruddin Prawiranegara, Menteri Keuangan dalam Kabinet Hatta II, yang mulai berlaku pada jam 20.00 tanggal 10 Maret 1950. Menurut kebijakan itu, “uang merah” (uang NICA) dan uang De Javasche Bank dari pecahan Rp 5 ke atas digunting menjadi dua. Guntingan kiri tetap berlaku sebagai alat pembayaran yang sah dengan nilai setengah dari nilai semula sampai tanggal 9 Agustus pukul 18.00.
Mulai 22 Maret sampai 16 April, bagian kiri itu harus ditukarkan dengan uang kertas baru di bank dan tempat-tempat yang telah ditunjuk. Lebih dari tanggal tersebut, maka bagian kiri itu tidak berlaku lagi alias dibuang. Guntingan kanan dinyatakan tidak berlaku, tetapi dapat ditukar dengan obligasi negara sebesar setengah dari nilai semula, dan akan dibayar 40 tahun kemudian dengan bunga 3% setahun. “Gunting Sjafruddin” itu juga berlaku bagi simpanan di bank. Pecahan Rp 2,50 ke bawah tidak mengalami pengguntingan, demikian pula uang ORI (Oeang Republik Indonesia).
Kebijakan ini dibuat untuk mengatasi situasi ekonomi negara yang saat itu sedang terpuruk yaitu utang menumpuk, inflasi tinggi dan harga melambung. Dengan politik pengebirian uang tersebut, bermaksud menjadi solusi jalan pintas untuk menekan inflasi, menurunkan harga barang dan mengisi kas pemerintah untuk membayar utang yang besarnya diperkirakan akan mencapai Rp 1,5 milyar.


25 Agustus 1959
Pada tanggal 25 Agustus 1959 terjadi sanering kedua yaitu uang pecahan Rp 1000 (dijuluki Gajah) menjadi Rp 100, dan Rp 500 (dijuluki Macan) menjadi Rp 50. Deposito lebih dari Rp 25.000 dibekukan. 1 US $ = Rp 45. Setelah itu terus menerus terjadi penurunan nilai rupiah sehingga akhirnya pada Bulan Desember 1965, 1 US $ = Rp 35.000.
Seperti juga ‘gunting Syafrudin’, politik pengebirian uang yang dilakukan Soekarno membuat masyarakat menjadi panik. Apalagi diumumkan secara diam-diam, sementara televisi belum muncul dan hanya diumumkan melalui RRI (Radio Republik Indonesia). Karena dilakukan hari Sabtu, koran-koran baru memuatnya Senin. Dikabarkan banyak orang menjadi gila karena uang mereka nilainya hilang 50 persen. Yang paling menyedihkan mereka yang baru saja melakukan jual beli tiba-tiba mendapati nilai uangnya hilang separuh.
Bertahap
Jika redenominasi disetujui pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat tahun depan, Bank Indonesia sudah menyiapkan tahapannya:

2011-2012
Sosialisasi intensif ke masyarakat dan dunia usaha.
2013-2015
Uang lama tetap berlaku. Rupiah baru dicetak dengan penanda kata "Baru". Label harga pada produk atau jasa sudah diumumkan dalam dua versi, uang lama dan uang baru. Misalnya Premium 1 liter Rp 4.500/ Rp 4,5. Pada tahap ini juga BI pelan-pelan menarik uang lama yang lusuh.

2016-2018
Semua uang kertas lama ditarik. Mulai berlaku uang baru.
2019-2020                
Pemerintah mulai menarik uang berlabel "Baru" dan menggantinya dengan uang tanpa tanda "Baru".

  1. Sistem ekonomi Islam dan mata uangnya
Dalam rangka redenominasi dan sanering mata uang, sistem Islam sesungguhnya belum pernah menyinggung penyederhanaan nilai mata uang, sebab dalam kajian-kajiannya terutama klasik tidak menganut penggunaan uang kertas sebagai alat transaksi yang sah, Islam lebih mengacu pada penggunaan dinar atau mata uang yang niali intrinsiknya sama dengan nilai komoditasnya dan tidak perlu dilakukan penyederhanan atau pemotongan nilai, namun uang kertas yang nilainya tidak sesuai dengan nilai komoditasnya perlu dilakukan redenominasi maupun sanering tergantung kebutuhan dan keadaan ekonomi suatu negara.
Al-Maqrizy menjelaskan bahwa perubahaan nilai mata uang yang tidak sebanding antara nilai mata uang dengan nilai barang, seperti yang pernah dilakukan pada dinasti Al-Ayyubiyah pencetakan fulus (mata uang yang terbuat dari tembaga) dengan perbandingan 48 fulus untuk setip dirhamnya. Kemudian diubah sepihak oleh pemerintah tanpa memperhatikan realitas ekonomi masyarakat frngan menetapkan rasio 24  per dirham akan mengakibatkan rakyat menderita kerugian yang besar karena barang-barang yang dahulu berharga setengah dirham lalu menjadi satu dirham.       
            Permasalahan tersebut merupakan permasalahan cabang dari masalah utama yaitu penggunaan sistem mata uang yang sangat rapuh oleh pemerintah serta sistem perekonomian yang berlandaskan asas kapitalisme. Ihda Faiz dan Muhammad iqbal menyebutkan bahwa, kondisi membengkaknya nominal mata uang akan selalu dihadapi oleh Negara berkembang (dan Negara maju) yang menggunakan sistem mata uang kertas dengan kurs mengambang bila tidak dijaga dengan fundamen ekonomi yang kuat. Berbagai upaya dalam mengatasi permasalahan yang ada hanya mampu menjangkau persoalan cabang dan tidak mengatasi persoalan mendasar kapitalisme. Kondisi tersebut akan sama halnya dengan krisis yang selalu berulang menghantam perekonomian global dalam sistem kapitalisme dengan dampak terparah akan mengenai Negara berkembang dan terbelakang. Karenanya wacana redenominasi rupiah sejatinya menjadi bukti tak terbantahkan betapa perekonomian saat ini (dengan sistem mata uang kertas) akan semakin membebani keuangan negara, mudah tergoncang oleh badai krisis dan sangat rapuh. Untuk menjaga stabilitasnya saja pemerintah harus selalu menjaga cadangan devisa Negara yang sejatinya dapat digunakan untuk program lain dalam upaya menggerakkan sektor riil.
            Tidak ada satupun mata uang di dunia ini yang tahan atas guncangan dan tidak mengalami kemerosotan nilai atau daya belinya. Artinya permasalahan moneter sejatinya menjangkiti seluruh Negara di dunia. Meskipun beragam sistem perekonomian yang mendukungnya serta bermacam model moneter yang digunakan namun terdapat persamaannya yaitu sebagian besar menggunakan mata uang kertas (fiat money). Sebagai contoh, mata uang dolar Amerika (sebagai mata uang bersama dunia) pada tahun 2001 mengalami depresiasi sebesar 800% terhadap emas dalam kurun 30 tahun dari tahun 1971. Saat dimana pemerintah AS melepaskan mata uangnya dari keterikatan dengan emas. (Ihda Faiz, 2010)
            Syeh Taqiyuddin An Nabhani dalam Al Amwal fi dawlah al khilafah  menyebutksan bahwa Islam telah mangaitkan hukum-hukum syara dengan emas dan perak, dan telah menjadikan keduanya sebagai mata uang. Mata uang tidak boleh dibuat kecuali dari emas dan perak sesuai dengan dalil-dalil berikut:
1.   Persetujuan Rasulullah saw.  untuk menggunakan emas dan perak sebagai mata uang Daulah Islamiyah. Rasulullah saw. menyetujui timbangan Quraisy sebagai standar timbangan dinar dan dirham. Dalam riwayat Thawus yang bersumber dari Ibn ‘Umar disebutkan bahwa: Rasulullah saw. bersabda, Timbangan itu adalah timbangan penduduk Makkah, yaitu berat sepuluh dirham sama dengan tujuh mitsqal, dan sesuai dengan timbangan kita sekarang, yaitu satu dinar sama dengan 4,25 gram emas dan satu dirham sama dengan 2,975 gram perak.
2.   Islam menghubungkan beberapa hukum syariat dengan emas dan perak, di antaranya :
a.   Islam mengharamkan menimbun keduanya, yaitu menimbun emas dan perak. Allah Swt. berfirman: ”Orang-orang yang menimbun emas dan perak serta tidak menginfakkannya di jalan Allah Swt. maka beritahukanlah kepada mereka azab yang pedih. (QS at-Taubah (9): 34).
b.   Islam mewajibkan dari emas dan perak agar dikeluarkan zakatnya karena keduanya dianggap sebagai  mata uang dan sebagai standar harga barang dalam jual-beli dan upah-mengupah tenaga kerja.  Aisyah r.a. berkata:”Rasulullah saw. memungut zakat untuk setiap 20 dinar atau lebih sebesar setengah dinar. (HR Ibn Majah).
c.   Islam mewajibkan diyat (denda) dengan kedua mata uang tersebut (dinar dan dirham). Rasulullah saw. bersabda:  ”Bagi penimbun emas (batas kena dendanya) adalah sebesar seribu dinar”. (HR an-Nasa’i).
d.   Nishab (batas minimal) pencurian yang mengharuskan pelakunya dipotong tangannya adalah seperempat dinar atau lebih. Sesungguhnya Rasulullah saw.  tidak memotong tangan pencuri dalam kasus pencurian yang nilainya tiga dirham. Rasulullah saw. bersabda: ”Tangan (yang mencuri) dipotong pada (kasus pencurian) seperempat dinar atau lebih. ”(HR al-Bukhari dan Muslim).
3. Ketika Islam menetapkan hukum-hukum pertukaran dalam muamalah, emas dan perak dijadikan sebagai tolok-ukurnya. Rasulullah saw. melarang pertukaran perak dengan perak atau emas dengan emas kecuali sama nilainya. Beliau memerintahkan untuk memperjualbelikan emas dengan perak sesuai yang diinginkan.
            Untuk menunjang terlaksananya hukum-hukum yang diterapkan, seperti untuk diyat, zakat, dan untuk kemudahan bertransaksi atau bermuamalah, khilafah Islam dapat mencetak berbagai pecahan dinar ataupun dirham. Seperti yang tercantum dalam al amwal fii daulah al khilafah, untuk Dinar dapat dicetak pecahan seperempat dinar, setengah dinar, 1 dinar, 2 dinar, 5 dinar,10 dinar dan 20 dinar. Untuk dirham dapat dicetak pecahan setengah dirham,1 dirham, 5 dirham(khamsa), 10 dirham dan 20 dirham.
            Dalil-dalil di atas juga menunjukkan bahwa Islam tidak hanya memerintahkan menggunakan emas sebagai standar mata uang tetapi juga harus ditopang sistem perekonomian Islam yang mampu menangani permasalahan moneter dan berbagai permasalahan makro ekonomi lainnya. Karena menggelembungnya (bubble) perekonomian dan nominal mata uang tidak lain merupakan imbas dari penerapan sistem ekonomi kapitalisme yang fasad. Saatnya memberlakukan mata uang dinar dan sistem perekonomian Islam secara menyeluruh dalam naungan daulah khilafah islamiyah. Inilah satu-satunya solusi tuntas semua permasalahan perekonomian dunia.
Keunggulan Mata Uang Emas dan Perak
Syaikh Abdul Qadim Zallum menerangkan setidaknya terdapat 6 (enam) keunggulan mata uang emas dan perak sebagai berikut. Pertama: emas dan perak adalah komoditi, sebagaimana komoditi lainnya, semisal unta, kambing, besi, atau tembaga. Untuk mengadakannya perlu ongkos eksplorasi dan produksi. Komoditi ini dapat diperjualbelikan apabila ia tidak digunakan sebagai uang. Jadi, emas dan perak termasuk uang komoditi/uang barang (commodity money). (Nasution, 2008: 241). Artinya, emas dan perak mempunyai nilai intrinsik (qîmah dzatiyah) pada dirinya sendiri. Beda dengan uang kertas yang tidak memiliki nilai intrinsik pada barangnya sendiri. (Thabib, 2003: 326).
Kedua: sistem emas dan perak akan menjamin kestabilan moneter. Tidak seperti sistem uang kertas yang cenderung membawa instabilitas dunia karena penambahan uang kertas yang beredar secara tiba-tiba. Emas biasanya tidak mudah ditemukan dalam jumlah berlimpah. Ketiga: sistem emas dan perak akan menciptakan keseimbangan neraca pembayaran antar-negara secara otomatis untuk mengoreksi ketekoran dalam pembayaran tanpa intervensi bank sentral. (Zallum, 2004: 226). Mekanisme ini disebut dengan automatic adjustment (penyesuaian otomatis) yang akan bekerja menyelesaikan ketekoran dalam perdagangan (trade imbalance) antar negara. (Hamidi, 2007: 137; Nurul Huda dkk, 2008: 103). 
Keempat: sistem emas dan perak mempunyai keunggulan yang sangat prima, yaitu berapapun kuantitasnya dalam satu negara, entah banyak atau sedikit, akan dapat mencukupi kebutuhan pasar dalam pertukaran mata uang. (Zallum, 2004: 227). Jika jumlah uang tetap, sementara barang dan jasa bertambah, uang yang ada akan mampu membeli barang dan jasa secara maksimal. Jika jumlah uang tetap, sedangkan barang dan jasa berkurang, uang yang ada hanya mengalami penurunan daya beli. Walhasil, berapa pun jumlah uang yang ada, cukup untuk membeli barang dan jasa di pasar, baik jumlah uang itu sedikit atau banyak. (Yusanto, 2001: 144).
Hal yang sama tidak dapat dikatakan untuk sistem uang kertas. Jika negara mencetak semakin banyak uang kertas, daya beli uang itu akan turun dan terjadilah inflasi. Jelaslah, sistem emas dan perak akan menghapuskan inflasi. Sebaliknya, sistem uang kertas akan menyuburkan inflasi. (Zallum, 2004: 227).   
Kelima: sistem emas dan perak akan mempunyai kurs yang stabil antar negara. Ini karena mata uang masing-masing negara akan mengambil posisi tertentu terhadap emas atau perak. Dengan demikian, di seluruh dunia hakikatnya hanya terdapat satu mata uang, yaitu emas atau perak, meski mata uang yang beredar akan bermacam-macam di berbagai negara (Zallum, 2004: 227).
Konsekuensinya, spekulasi mata uang asing (valas) tidak akan dapat lagi dilakukan dan perdagangan internasional pun akan makin bergairah, karena emas dan perak telah menghindarkan para eksportir/importir dari sumber ketidakpastian yang terbesar, yaitu kurs yang tidak tetap (fluktuatif) (El-Diwany, 2003:97).
            Keenam: sistem emas dan perak akan memelihara kekayaan emas dan perak yang dimiliki oleh setiap negara. Jadi, emas dan perak tidak akan lari dari satu negeri ke negeri lain. Negara manapun tidak memerlukan pengawasan untuk menjaga emas dan peraknya. Sebab, emas dan perak itu tidak akan berpindah secara percuma atau ilegal. Emas dan perak tidak akan berpindah kecuali menjadi harga bagi barang atau jasa yang memang hal ini dibolehkan syariah (Zallum, 2004: 227; An-Nabhani, 2004:277).
Muhaimin iqbal menyebutkan, walaupun redenominasi dipandang perlu untuk menyederhanakan nominal rupiah, tetapi mata uang yang tahan inflasi dan tidak perlu diredenominasi adalah dinar emas. Sekali Dinar digunakan, nilai/daya belinya stabil – 1 Dinar satu kambing tetap sampai akhir zaman, maka tidak akan lagi pernah diperlukan Redenominasi atau bahkan Sanering.
            Disinilah sebenarnya keunggulan dan kebenaran Islam itu dapat terbukti dengan jelas. Kita tidak perlu kehilangan orientasi dalam hal apapun dan kapanpun – karena tuntunannya, arahannya, nilai-nilainya berlaku baku sepanjang zaman. Seperti sholat yang kita tidak perlu lagi bertanya menghadap kemana, tinggal kita tahu dimana kita berada dan dimana Ka’bah berada – maka seluruh umat sepakat ke situlah kita menghadap.
Demikian pula dalam hal nilai, kita bisa dengan mudah dan jelas dengan timbangan yang tidak pernah berubah untuk menimbang siapa yang kaya dan siapa yang miskin dengan nishab zakat yang 20 Dinar. Yang kaya wajib membayar zakat, yang miskin berhak menerima zakat – betapa kacaunya hak dan kewajiban ini seandainya nilai nishab tersebut perlu Sanering ataupun Redenominasi dari waktu ke waktu.









           
PENUTUP
1.1.Kesimpulan
Tampak jelas bahwa kebijakan redenominasi rupiah tidak akan menyelesaikan ekonomi di Indonesia, melainkan justru akan menambah biaya pembangunan dan semakin bercokolnya sistem ekonomi kapitalisme. Redenominasi yang seolah-olah merupakan solusi yang ditawarkan pemerintah saat ini sangat jauh dari akar permasalahan perekonomian. Yang menjadi akar permasalahan adalah dengan perubahan sistem mata uang dan sistem ekonomi Indonesia, ke arah yang lebih baik.
Selaku muslim, kita wajib menggunakan sistem ekonomi Islam, sistem yang dibuat oleh pencipta manusia dan alam semesta. Pencipta yang tidak memiliki kepentingan sedikit pun terhadap perekonomian di dunia, Dialah Allah swt. Allah mewajibkan kepada kepala negara (khalifah) untuk menerapkan sistem ekonomi syari’ah berbasis sektor riil yang akan membawa kesejahteraan manusia, sebagaimana telah dicontohkan oleh Rasulullah saw. Allah mengharamkan sistem ekonomi kapitalis atau sistem ekonomi lainnya selain dari sistem Islam.
Ketidakstabilan mata uang maupun ketidakstabilan ekonomi akan selalu terjadi jika kaum muslimin tidak terikat dalam satu negara Khilafah Islam yang menerapkan seluruh aturan Islam termasuk perekonomian dan mata uangnya. Khilafah Islam inilah yang merupakan negara yang menyatukan seluruh kaum muslimin di seluruh dunia. Oleh karena itu sudah selayaknya jika yang diterapkan hanyalah aturan Islam semata.









DAFTAR PUSTAKA
Al-Maqrizy. 1940. Ighatah al-Ummah bi Kashf al-Ummah. Kairo: Lajnah at Talifwa at-  tarjamah wa an-Nasr.
Chapra, M. Umer. 2001. Sistem Moneter Islam. Jakarta: GIP dan Tazkia Cendikia.
Karim, Adiwarman. 2008. Ekonomi Makro Islami. Jakarta: PT. Grafindo Persada.
Hasan, Ahmad. 2005. Mata Uang Islami. Jakarta: PT. Grafindo Persada
Huda, Nurul, dkk. 2008. Ekonomi Makro Islam. Jakarta: Kencana
Sukirno, Sadono. 1981. Pengantar Teori Makro Ekonomi. Jakarta: Bina Grafika

Comments

Popular posts from this blog

jalan damai untuk Indonesia kita bersama

Produk Giro dalam Bank Syariah

prinsip produksi dalam Al Qur'an